Welcome To My Paradise

Welcome To My Paradise

Kamis, 11 Desember 2008

Barbeque

Sejak tinggal di Kramat asem, Andy seneng banget bakar-bakaran. Nggak hanya di akhir pekan, di tengah minggu kerja dia bisa tuh barbeque. Pulang kerja, ganti kostum, keluarin daging dari kulkas, siapin alat bakar, arang dan spirtus. Udah deh, dengan asiknya dia duduk nyantei bikin api di depan rumah.

Tunggu beberapa menit, Andy akan manggil-manggil "yang, ambilin, piring. Yang ambilin nasi. Yang ambilin garam. Sendok, spatula, bla bla bla, bli bli, blu blu". Kan nyebelin banget tuh. Kenapa nyuruhnya enggak sekaligus. Biar gue nggak bolak-balik. Meski nyebelin, gue tetep ngambilin dongs. Abis gue enggak tega melihat tampangnya yang bulet memerah keringetan kena panas bara itu. Tampangnya jadi mirip daging panggang. Hehe..


Andy semangat banget ngipas-ngipas..

Sampe kipas itu rusak dan menyerah.


Besoknya doski beli kipas angin.

Usai bakar-bakaran. Masih ada kerjaan menunggu. Mencuci semua perkakas perang. Ya bagi-bagi kerjaan lah. Andy beresin sampah-sampah bekas barbeque, gue yang cuci perkakasnya. Paling susah itu mencuci alat panggang. Karena besar dan gak muat di wastafel. Trus serpihan daging yang nempel mengeras di besi itu loh. Susah banget di cucinya.

Meski cape, tapi kadang seru juga. Apalagi kalo kita barbeque-an nya berdua aja. Ditengah suasana senja, dari terang ke gelap. Duduk melihat bintang. Menunggu daging dan ikan matang. Percikan api saling bersahut dengan alunan musik dari Ipod. Hehehe.. Romantis yang kapiran.. dinner nya bukan pake lilin tapi pake bara api…

Kalo hari libur, ritme bakar membakar bisa seperti minum obat. 2 kali sehari. Bangun tidur ngopi bentar. Trus "peralatan perang" di gelar di depan rumah. Gak berapa lama doski udah asik ngipas-ngipas daging atau ikan di atas bara. Sore hari nya, dia bisa tuh gelar alat perang lagi untuk bikin barbeque-an.

Tetangga sebelah rumah, Teguh dan vivi, ternyata juga setali tiga uang. Sering dan seneng banget bikin barbeque. Kita sering juga bikin barbeque bersama. Kadang cuma ber-empat aja, kadang mengundang beberapa teman dekat.

Tempatnya memang mendukung. Konsepnya kayak Town house gitu. Ada 5 unit rumah yang berjajar menghadap halaman dan dilingkari pagar bersama. Meski luasan tiap unit rumahnya kecil tapi halamannya luas bow. Sang pemilik punya hoby tanaman. Jadi di depan rumah itu tertata rapi jajaran tanaman bunga adenium berbagai warna. Lokasi rumah juga jauh dari jalan raya, jadi enak untuk bikin acara kumpul-kumpul. Nggak perlu kawatir mengganggu tetangga.

Kamis, 30 Oktober 2008

Dari Jogja "Ber-ati nyaman" menuju RI 1 untuk perubahan

Tanggal 28 Oktober 2008 kemarin, tepat peringatan 80 tahun Sumpah pemuda. Di hari yang sama, nun di alun-alun Jogjakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono X menggelar Pisowanan Ageng. Dari kata 'Sowan' yang artinya ketemu, Pisowanan Ageng memiliki arti kata "Pertemuan Agung".

Pisowanan Ageng ini mengingatkan saya pada cerita masa ke emasan Majapahit di abad ke 14. Kala tampuk kerajaan di pegang oleh dua Ratu, Sri Gitarja dan Dyah Wiyat, dengan Gajah mada sebagai patih nya. Kala itu dikisahkan, setiap tahun Majapahit menggelar semacam acara pertemuan besar. Dihadiri oleh utusan dari seluruh kerajaan bawahan sebagai tanda takluk pada Majapahit. Pada pertemuan ini, semua utusan melaporkan keadaan di wilayahnya. Segala kemajuan dan kesulitannya. Berharap Sang Ratu Kembar dapat memerintahkan pengiriman bantuan. Pengiriman bahan pangan bagi wilayah yang terkena gagal panen. Pengiriman dukun kesehatan bagi wilayah yang terkena wabah penyakit. Atau setidaknya dapat diberikan kewajiban pengurangan upeti.

Ratusan abad kemudian, gelar pertemuan ini masih terjadi. Tapi konteksnya jelas sudah beda. Di abad 21 ini Pisowanan Ageng hanya menjadi ajang Pak Sultan bertemu rakyatnya.





Kala kecil dulu, meski samar-samar saya masih ingat, Yangti (nenek saya yang tinggal di Jogja) pernah bercerita. Suatu ketika, di sebuah acara -mungkin pisowanan Ageng- tetangganya pernah datang menemui Alm Sri Sultan Hamengkubuwono ke IX (ayah dari pak Sultan X). Di belakang panggung sang tetangga mencegat Rajanya dan memohon bisa menurunkan hujan, agar sawahnya tak jadi gagal panen akibat kemarau panjang. Menurut si tetangga, kala itu sang Raja hanya tersenyum dan menyuruhnya pulang. Dua hari kemudian, hujan turun deras, dan sawahnya berhasil panen. Boleh percaya boleh tidak. Tapi Nenek saya percaya betul kalau Raja nya begitu memiliki kemampuan lebih.

Pertama kali mendengar cerita itu, saya begitu takjub. Kini setelah besar, saya berpikir, kok nggak rasional sekali ya cerita itu. Ah jawa, kadang eksotik tapi juga penuh klenik. Setengah darah saya mengalir darah Jogja. Meski saya belum tercerabut dari akarnya, tapi saya Lahir dan besar di Jakarta, bersama Prambors dan majalah Hai. Di banding cerita Yangti, tentu saya lebih percaya Google dan rock and roll.

“Djawa adalah kontji” begitu kata Aidit di film G30S/PKI. Ini memang SARA, Tapi kita gak bisa menafikan fakta dan riset. Sejak ribuan tahun silam Jawa memang motor dari kebudayaan dan kemajuan nusantara. Karakter dan tipologi pulau Jawa lebih mendukung penghuninya menggapai pencapaian lebih maju dibanding manusia di pulau yang lain di Nusantara. Seperti yang termaktub dalam buku “Nusantara : A History of Indonesia” karya Bernad HM Vlekke. Namun demikian, nggak baik juga kalo ‘Jawa’ di stigma-kan sehingga menjadi alasan penghalang untuk maju.

Kalau ditarik lebih ke belakang, Keraton Jogja telah banyak mendukung perjuangan pergerakan kemerdekaan, di banding Keraton Solo yang cenderung apatis dengan perjuangan politik bangsa. Keraton Jogja berani menolak bekerja sama -atau setidaknya berseberangan jalan- dengan Belanda dan Jepang. Mungkin ini yang membuat para Sultan Jogja lebih berkarisma di mata ‘rakyat’nya. Seperti kaum Nahdliyyin terhadap Gusdur.

Tahun 1998 silam, Kala Reformasi merebak, ada 4 nama yg sibuk berembug di Ciganjur. Mereka adalah GusDur, Megawati, Amien Rais, dan Pak Sultan HB X. Selepas 1998, salah satunya sempat menjadi Ketua MPR, sementara dua lainnya sempat menjadi Presiden RI. Tapi Pak Sultan selalu setia 'duduk' di Jogja.

Saya pikir, kesultanan Jogja tidak hanya simbol Monarkhi dan sejarah. Kesultanan Jogja juga telah berkontribusi bagi terciptanya Kemerdekaan dan Reformasi Bangsa ini. Setiap Sultan Jogja menciptakan Kiprahnya masing-masing. Almarhum HB IX ikut pergerakan kemerdekaan. Pak Sultan HB X turut serta dalam reformasi.

Reformasi kini berumur 10 tahun. Telah dua kali Pemilu Pak Sultan di gadang-gadang menjadi capres. Mungkin ini saatnya Pak Sultan muncul kembali ke Jakarta. Di Pisowanan Ageng kemarin, Pak Sultan mendeklarasikan maju menjadi bakal Capres. Namun perjuangan masih panjang dan berat. Saat ini tak cukup dengan dukungan rakyat saja. Pak Sultan harus mampu menggandeng Parpol besar demi perolehan 25 % suara Legislatif.





Dilihat dari banyaknya dukungan di Pisowanan Ageng, juga pengalaman Pak Sultan memimpin Jogja, saya kira itu sudah modal awal. Selama kepemimpinan Pak Sultan betapa Jogja yang plural masyarakatnya mampu hidup harmonis dan “Ber Ati Nyaman” -seperti slogan DIY. Bila Pak Sultan berhasil di Pemilu nanti, tentunya dia dapat menularkan slogan tersebut sehingga Indonesia ber-ati Nyaman.

Tidak ada yg hitam putih di dunia ini. Di banding Bakal Capres yang lain, track record Pak Sultan termasuk cukup baik. Anti poligami, open mind, dan berbhineka tunggal ika. Saya percaya setiap warga negara berhak mencalonkan diri-sesuai UU yang berlaku. Makin banyak pilihan capres makin bagus buat kita memilih.
Ah .. sok tau sekali ya saya ini hehehe...

~Mayang

Jumat, 12 September 2008

HUT AJI Indonesia ke 14

Awal september '08 kalo nggak salah, AJI Indonesia membikin perhelatan ulang tahunnya yang ke 14 di Ballrom Hotel Intercontinental Midplaza. Saya bukan anggota AJI. Tapi saya merasa penting untuk menyambangi acara itu. Yah sekadar sosialisasi lah, dan berharap bisa mendapatkan manfaat di kemudian hari dari sosialisasi semacam ini (hehehe pamrih ya.. :) )




Disana saya ketemu beberapa teman yang mungkin sudah berbulan (bahkan bertahun) gak ketemu. Seperti kury suditomo, Teman saya liputan dulu. Saya sampe lupa, kapan terakhir ketemu dia. Mungkin kala dia baru punya anak satu. Kini doski udah beranak dua bow. Tapi tetep itu badan langsing. Bikin ngiri deh hehe… saya yang belum punya anak, badan udah melar nggak karuan begini.

Ulang tahun AJI ini terbilang mewah dan meriah. Logo Sponsor bertebaran di backdrop nya. Dari LSM, NGO , perusahaan media hingga perusahaan minyak Internasional. Saya Mahfum, kalo AJI bikin acara, banyak sponsor antri untuk kasih dana. Saya sempat dengar ada penilaian miring soal perhelatan ini. AJI kan terkenal independen, kok mau terima dana dari para kapitalis?

Kalo menurut saya sih, gak papa terima dana dari perusahaan-perusahan itu. Kan mereka memberikan dana lepas. Mereka tidak turut campur dalam kontain acara. Jadi AJI masih tetap independent untuk menyuarakan misi visinya.




Lagi pula hari gini, kita mesti realistis lah. Mungkin dalam 2-3 tahun ke depan, organisasi semacam AJI gak bisa lagi bergantung pada dana luar negeri. Jadi mulai saat ini harus berani mempertimbangkan para penyandang dana lokal. Juga termasuk perusahaan media yang katanya kapitalis itu. Selama tidak berkongsi dengan penyandang dana mafia rasanya masih boleh lah.




Perhelatan AJI juga menghadirkan Wapres Jusuf Kala. Hal ini juga memunculkan kritik dan komplennya tersendiri. Ada yang mengeluh, kehadiran JK yang penuh birokrasi protokoler membuat kenyamanan terganggu. Yah namanya juga wakil presiden, tentunya ada aturan-aturan protokoler yang mesti di jalankan. Seperti pemeriksaan intensif sejak pintu masuk hingga ke ballroom. Tapi menurut saya, dibanding SBY , kehadiran JK ini lebih menyenangkan. Kalau SBY, kita sudah terganggu dengan segala macam protokolernya, kita masih disuruh mendengarkan pidato SBY yang sering mengantukan itu, selesai pidato dia segera pergi. Jadi kita cuma di suruh jadi pendengar aja.

Beda dengan JK. Seusai JK berpidato, atas permintaan protokoler wapres, sang MC meminta hadirin berdiri karena JK mau meninggalkan ruangan. Tapi hal ini di tolak oleh JK, karena dia masih mau tinggal utk mengikuti acara selanjutnya. Beberapa saat kemudiann, MC kembali meminta hadirin berdiri, tapi JK menolaknya lagi, karena dia masih ingin tetap tinggal. Hebat euih…

Selain itu, Pidato JK juga menarik, seru, dan cespleng.
Jadi saat itu, baik JK dan ketua AJI, saling pidato dan tak sungkan untuk saling kritik seputar kebebasan Pers. Tema yang diusung AJI dalam perhelatannya kali ini.
Nah , dari situ kan terlihat kalo masing-masing bisa tetap independent menyuarakan misinya. Untuk memperjuangkan misi apapun, komunikasi dan interaksi adalah suatu hal yang patut untuk di lakukan. Untuk bisa makin mendengungkan misi, tentunya perlu event yang besar dan dihadiri oleh banyak pengambil keputusan.
Kalo misalnya acara AJI itu di gelar di kantor AJI dengan tumpengan saja, hanya mengundang para anggota dan simpatisannya saja. Bagaimana dengung misi nya bisa menyebar ke se antero negeri ? iya toh?
Tapi lepas dari semuanya, ini cuma pendapat pribadi saya aja.


Seusai menghadiri HUT AJI, saya bersama Andy langsung lanjut ke lantai bawah, di Bacchus, menyambangi undangan seorang kawan baik untuk sekadar ngobrol dan nge-wine. Setelah malam sudah sepenuhnya matang, bahkan mungkin ayam jantan siap beranjak berkokok, rendezvous Bacchus pun berakhir. Saya dan andy meluncur pulang.

Cheers
~ mayang

Jumat, 05 September 2008

Kejadian-kejadian kecil saat lari di Boston

Dibawah ini Tulisannya Mas ulil.
Membacanya membuat saya membayangkan mas ulil dengan celana training dan handuk melingkari leher, berlari nyusuri pedestrian di samping danau yang ada bebek dan angsanya hehe.. Trus juga terbayang keramahan orang2 Boston nya.. lalu sekelebat muncul ingatan saya saat uluran jabatan tangan saya di tolak oleh beberapa narsum yg kawatir berdosa bila menyentuh tangan saya.. agh sebel.. Jadi ingat perkataan Gusdur, "kalo perempuan satu bus saya ajak salaman, apa itu berarti semua perempuan itu mau saya kawinin semua ? "
~ mayang


Kejadian-kejadian kecil saat lari di Boston
KEGIATAN yang selalu saya usahakan untuk saya lakukan secara rutinselama sekolah di Boston ini adalah lari. Ini adalah olah raga murahyang tak membutuhkan modal apapun kecuali kemauan saja, selain, tentu,beberapa dolar untuk membeli sepatu olah raga.

Hari Sabtu kemaren (30/8), saya lari dan mencetak rekor baru yangsungguh menyenangkan buat saya. Biasanya, saya hanya lari selama 30menit. Setiap lari, saya berusaha memperbaiki rekor saya sendiri. Sejaklama, saya ingin bisa lari secara konstan selama satu jam. Rekor itu,akhirnya, saya capai kemaren.

Saya juga menempuh rute baru yang tak pernah saya telusuri selama ini.Saya mulai dari jalan yang dekat dengan rumah saya di kawasan NewtonCentre, yaitu Beacon St, lalu belok ke Washington St, untuk kemudianmasuk ke jalan utama Commonwealth St, jalan panjang yang tembus keUniversitas Boston. Total jarak yang saya tempuh kira-kira 6,5 mil,sekitar 10 km.

Ini jelas bukan jarak yang panjang, apalagi untuk pelari yangprofesional. Tetapi, ini jarak yang sudah sangat jauh untuk ukuransaya. Saya juga menempuhnya dengan lari yang tak terlalu kencang. Sayamemang tak "ngoyo" untuk lari cepat. Buat saya, yang penting adalahlari konstan untuk menguji ketahanan.

Saat di Jakarta dulu, saya jarang lari di tempat terbuka, karena susahmencari tempat di dekat perumahan saya yang nyaman untuk lari dan bebasdari polusi udara karena asap kendaraan bermotor. Kalau hendak lari,biasanya saya pergi ke fitness centre yang berjarak kira-kira 3 km dari perumahan saya; di sana saya lari secara "artifisial" dengan sebuah alat yang disebut thread milll.

Lari di medan terbuka tentu beda sekali dengan lari secara artifisialdengan sebuah alat. Selain gratis, lari di tempat terbuka membuat kitamerasa "bersatu" dengan alam sekitar; membuat kita merasa sebagaimanusia.

Kota Boston, terutama di daerah Newton Centre di mana saya tinggal,adalah surga untuk mereka yang senang "jogging", lari, jalan kaki ataubersepeda. Trotoarnya lumayan lebar sehingga nyaman untuk lari. Secaraumum bahkan bisa dikatakan, Boston adalah sorga untuk siapa saja yangingin melakukan kegiatan olah-raga dengan gratis.

Fasilitas oleh raga disediakan secara gratis oleh pemerintah kotadengan melimpah ruah. Di mana-mana saya lihat hamparan rumput danlapangan terbuka untuk berbagai jenis olah-raga: base-ball, soft-ball(dua jenis olah raga paling populer untuk masyarakat Amerika), basketball, tenis, dan sepak bola. Biasanya di sekitar lapangan itu dibangun "playground", lapangan tempat bermain untuk anak-anak.

Ini kontras dengan kota-kota di Indonesia yang secara umum nyarismengabaikan sama sekali fasilitas umum yang bisa digunakan olehmasyarakat untuk melaksanakan kegiatan olah-raga secara gratis.

Di kawasan tempat saya tinggal, ada beberapa danau kecil atau "dam" (reservoir).Salah satunya adalah tempat yang dikenal dengan Reservoir di kawasanBrookline, persis di samping universitas Katolik terkenal di kotaBoston, yaitu Boston College.

Di sekeliling dam itu, dibangun "track" yang nyaman untuklari. Jika kita mengelilingi dam itu, kita sama saja dengan menempuhjarak kira-kira 2,5 mil. Ini adalah kawasan yang sangat enak untukjogging, lari, atau sekedar jalan kaki atau bersepeda. Daerahnya sangatindah; di beberapa bagian, dikelilingi oleh hutan kecil. Setiap hari,mulai pagi hingga malam, selalu saja ada orang yang lari atau jalankaki di sana. Tetapi karena jaraknya agak jauh dari rumah, saya jaranglari di sana.

SAAT lari, kadang-kadang saya menjumpai sejumlah kejadian yang menarikperhatian saya. Sabtu kemaren itu, ada beberapa kajadian yang menariksaat saya lari; tentu saja menarik dalam pandangan saya, dan belumtentu kejadian yang sama menarik bagi orang-orang lain.

Saat menyusuri Jalan Beacon, beberapa meter setelah melewati kota kecilWaban, saya bertemu dengan seorang lelaki setengah baya yang sedangmenyiangi taman di depan rumah. Saat saya lewat, dia teriak, "How are you there!"Tentu saya tak kenal dia, dan dia juga tak kenal saya. Tetapi sapaanbersahabat itu mengagetkan saya yang saat itu sedang konsentrasi untuklari. Dengan sedikit agak gugup dan tentu ngos-ngosan, saya teriakbalik, "Good. How are you sir!"

Kehangatan seperti ini beberapa kali saya alami waktu berpasan denganiorang-orang yang entah berangkat kerja atau pulang kerja di kotaNewton. Saat menuju ke stasiun kereta di dekat rumah dan berangkat kekampus, misalnya, saya kerap menerima sapaan dari orang-orang yang taksaya kenal, "Hi, how are you", atau "Good morning".

Saya tahu, kehangatan semacam ini mungkin sudah tak ada ditengah-tengah kota besar seperti New York, Chicago, Los Angeles, atauBoston sendiri. Saya beruntung tinggal di kota kecil di luar kotaBoston di mana kehangatan ala kampung Jawa ini masih bertahan hinggasekarang. Setiap menerima kehangatan seperti itu, saya selalu ingatorang-orang di kampung saya di daerah Pati. Setiap berpapasan denganorang, saya selalu disapa atau menyapa, "Bade tindak pundi, Mas, Bu" (Mau kemana, Mas, Bu?).

Saat belok ke Jalan Commonwealth, saya sudah mulai agak kecapekan. Sayaberhenti lari, dan hanya jalan kaki biasa. Nafas saya masihngos-ngosan, badan saya basah kuyup oleh keringat. Seorang perempuanlari menyalip saya, dan sekonyong-konyong menoleh lalu menyapa, "Hi, are you ok? Wanna run with me?" Tentu saja ajakan untuk lari itu saya tolak, sebab saya baru saja menyelesaikan lari panjang. "No, thank you. I just finished running," jawab saya.

Jalan Commonwealth adalah salah satu kawasan yang juga sangat nyamanuntuk lari, terutama pada bagian yang berada di sepanjang kota Newton.Sejajar dengan jalan ini, ada taman rumput dengan pohon-pohon yangrindang. Di rumput inilah biasanya orang-orang lari. Karena hari ituadalah hari Sabtu, banyak orang yang lari di sepanjang JalanCommonwealth itu.

WAKTU menerima sapaan perempuan itu, saya tak memikirkan apapun. Sayamasih sibuk mengatur nafas saya yang masih sedikit ngos-ngosan. Setelahnafas mulai agak reda, sambil terus berjalan, saya mulai melakukanrefleksi kecil.

Selama ini, kaum Islamis di mana-mana memiliki agenda yang hampirseragam, terutama yang berkaitan dengan tubuh perempuan. Mereka hendakmenegakkan peraturan Islam yang berkenaan dengan pakaian perempuan.Mereka menganjurkan agar perempuan memakai jilbab, kalau bisa malahmenutup seluruh tubuh, termasuk wajah mereka. Saat di Jakarta dulu,saya bahkan kerap menjumpai sejumlah perempuan yang memakai cadar.

Di mata kaum Islamis, tubuh perempuan dipandang sebagai sumberrangsangan bagi syahwat laki-laki. Karena itu, tubuh perempuan harusditutup rapat-rapat agar syhawat laki-laki itu tidak meledak takterkendali. Seorang imam dari Australia membuat heboh April 2007 lalu.Sebagaimana diberitakan oleh koran The Sidney Morning Herald,Sheik Taj el-Din al-Hilaly, nama imam yang berasal dari Mesir itu,mengatakan bahwa seorang perempuan yang memakai pakaian minim sama saja dengan daging yang tak tertutup.

Sindiran imam itu tentu jelas maksudnya: daging yang tak ditutup sudahtentu akan mengundang lalat. Siapa yang dimaksud dengan lalat di sini,tentu anda sudah tahu sendiri. Akibat pernyataan yang kontroversialitu, sang imam dipecat dari jabatannya sebagai mufti oleh AFIC (The Australian Federation of Islamic Councils).

Pandangan imam tersebut sebetulnya sangat khas pada semua kelompokIslam konservatif, dan tidak terbatas pada kelompok Islamis. Dalampandangan ini, tubuh perempuan dianggap sebagai sumber "ketidakstabilansosial", karena dapat merangsang libido laki-laki. Jalan terbaik untukmembendung ancaman ini adalah dengan cara menyungkup tubuh perempuanserapat mungkin.

Oleh karena itu, di mana-mana, saat kaum Islam memenangkan kekuasaanpolitik, langkah pertama yang selalu mereka lakukan adalah memaksaperempuan memakai jilbab, membatasi gerak perempuan di ruang publik,menerapkan segregasi antara perempuan dan laki-laki, dsb. Semua ituberawal dari alasan yang sederhana: tubuh perempuan yang dipandangsebagai --meminjam istilah yang dikenal dalam literatur fikih Islamklasik-- "matsar al-fitnah, sumber munculnya fitnah. Yang dimaksud dengan "fitnah" di sini adalah kekacauan sosial karena syahwat laki-laki yang tak terkontrol.

Dalam "note" yang lalu, saya menganjurkan agar kita, sebagai umatIslam, memakai pendekatan kritis dalam memahami perintah agama.Menggunakan akal sehat adalah bagian dari perintah Islam itu sendirisebagaimana ditunjukkan dalam banyak ayat Quran. Islam menghendaki agarkita menjalankan perintah agama bukan dengan cara "taklid buta",kebiasaan yang menjadi ciri masyarakat jahilyyah pra-Islam yangdikritik oleh Quran. Umat Islam sudah seharusnya menjalankan ajaranagama secara kritis. (Silahkan membaca kembali "note" saya yangberjudul "Menjadi Muslim dengan perspektif liberal" )

Pertanyaan kritis yang bisa diajukan di sini adalah: benarkah tubuh perempuan adalah sumber fitnah dan kekacauan sosial?

Di sini saya ingin kembali kepada "insiden" kecil yang saya alami saatlari di Jalan Commonwealth itu. Di sana, saya melihat banyak perempuanyang lari dengan memakai baju olah raga sebagaimana layaknya dipakaioleh semua orang yang lari: kaos tipis dan celana pendek. Sudah tentutanpa penutup kepala yang sangat tak praktis untuk dipakai saat lari.

Saat orang-orang, terutama kaum laki-laki, melihat perempuan laridengan baju "minim" itu, apakah mereka lalu melakukan tindakan yang taksopan, misalnya melakukan pelecehan seksual atas perempuan itu?Sepanjang pengalaman saya lari selama ini di kota Boston, saya takpernah menjumpai seorang perempuan yang diganggu karena lari denganbaju minim. Tak pernah sekalipun saya melihat seorang laki-lakimengganggu mereka, entah dengan suitan yang menggoda, kata-kata kotor,apalagi pelecehan seksual secara langsung. Semua orang bertindak dengansopan, menghormati hak lain untuk berolah-raga secara wajar.

Dengan kata lain, tak ada kekacauan sosial apapun di sana karena tubuh perempuan yang tak tertutup dengan rapat.

Saya tentu tak melarang seorang perempuan untuk memakai jilbab. Isterisaya memakai jilbab hingga sekarang. Saya menghormati pilihanmasing-masing orang, entah untuk memakai atau tak memakai jilbab. Sayamenentang kebijakan pemerintah Perancis yang melarang murid-muridsekolah negeri untuk memakai jilbab. Di mata saya, kebijakan semacamitu sangat tak masuk akal. Tetapi saya juga menentang kebijakansejumlah peraturan daerah di Indonesia yang memaksa murid-murid sekolahnegeri untuk memakai jilbab, termasuk murid-murid non-Muslimsebagainana berlaku di beberapa daerah di Sumatera Barat.

Yang saya kritik adalah asumsi kalangan Islam fundamentalis yangmenganggap bahwa tubuh perempuan menjadi sumber kekacauan sosialsehingga harus ditutup dengan rapat. Pandangan kaum fundamentalis inimelecehkan kaum laki-laki dan perempuan sekaligus. Mereka beranggapan,seolah-olah laki-laki adalah binatang buas yang begitu melihatperempuan tak menutup seluruh tubuhnya dengan rapat akan menerkam danhendak bercinta dengannya, persis seperti perangai ayam jago yangbegitu melihat ayam betina langsung mengejar dan bersetubuh dengannya "on the spot".

Pandangan ini mengandaikan bahwa laki-laki adalah binatang seks yangseluruh hidupnya dikuasai oleh nafsu birahi. Tanpa disadari oleh kaumfundamentalis sendiri, pandangan mereka ini persis dengan teori SigmundFreud yang selalu menjadi sasaran kritik kaum Islamis selama ini.

Pandangan ini juga sekaligus melecehkan permempuan sebab menempatkanmereka semata-mata ssebagai "tubuh molek" yang selalu menebarkan gairahseksual. Perempuan sama sekali tak dipandang sebagai manusia, sebagaisubyek yang mempunyai martabat.

Yang menarik adalah justifikasi yang dikemuakakn oleh kaumfundamentalis ini: dengan memaksa perempuan memakai jilbab dan menutupseluruh tubuhnya, mereka meng-kleim ingin mengangkat martabatperempuan. Pandangan semacam ini jelas merendahkan kaum perempuan,sebab mengandaikan bahwa seorang perempuan yang tak menutup tubuhnyadengan jilbab bukan perempuan yang terhormat.

Perempuan yang terhormat dan bermartabat, dalam pandangan kaumfundamentalis, hanyalah perempuan yang memakai jilbab. Seorangperempuan yang memiliki pendidikan yang baik serta kemampun yang tinggidalam berbagai bidang pekerjaan, tetap saja dianggap tak terhormat olehkalangan fundamentalis jika tak menutup tubuh mereka dengan jilbab.

Saya ingin mengatakan kepada kaum fundamentalis itu: martabat perempuanditegakkan bukan semata-mata dengan secarik kain yang menutup kepaladan tubuh mereka. Martabat perempuan ditegakkan karena mereka bisamenikmati hak-hak mereka yang wajar sebagai manusia dan warga negara;bisa menikmati kesempatan yang luas untuk aktualisasi diri; mendapatkanpendidikan yang cukup; mendapatkan perlindungan hukum yang memadaisehingga tak rentan terhadap kekerasan dari pihak laki-laki, dsb.

Apa gunanya perempuan dipaksa menutup seluruh tubuhnya, sementarahak-hak mereka sebagai manusia dan warga negara dipreteli satu per satusebagaimana praktek luas yang kita lihat di dunia Islam saat ini?Memaksa perempuan untuk menutup seluruh tubuh seraya membatasi hak-hakmereka sebagai manusia, bukanlah cara yang tepat untuk mengangkatmartabat perempuan. Alih-alih mengangkat martabat mereka, cara sepertiitu justru merendahkan kehormatan mereka sebagai manusia.

Kecurigaan kaum Islam fundamentalis terhadap tubuh perempuan ini kadangbergerak terlalu jauh sehingga mengesankan sebuah "paranoia". Karenamaraknya Islam konservatif di kota-kota besar Indonesia saat ini, sayamulai melihat praktek yang agak janggal, yaitu laki-laki menolakberjabat tangan dengan perempuan yang bukan muhrim(kerabat dekat), seolah-olah perempuan adalah makhluk "najis" yangmenjadi ancaman atas laki-laki sehingga tak boleh dijabat tangannya.

Memang benar, ada sebuah hadis yang menjadi landasan kaum konservatifuntuk melarang laki-laki untuk berjabat tangan dengan perempuan. Sekalilagi, kita sudah seharusnya menjalankan ajaran agama dengan akal sehatyang kritis, bukan "menurut" saja tanpa sebuah alasan yang masuk akal.Taruhlah bahwa Nabi memang benar-benar melarang praktek jabat tangansemacam itu, kita pantas bertanya: Apa sebab-sebab larangan itu, dalamkonteks sosial seperti apa larangan itu muncul, apakah larangan ituberlaku secara universal sepanjang zaman, dsb.?

Kaum Islam fundamentalis biasanya ketakutan atas pertanyaan-pertanyaansemacam ini, sebab mereka khawatir Islam akan hancur jika umat Islammemakai pendekatan kritis dalam memahami agama merekai. Mereka selalumengatakan: jika ajaran agama dipersoalkan dasar-dasar rasionalnya,lalu apa yang tersisa dari agama? Ketakutan semacam ini sekali lagimembenarkan fakta selama ini bahwa kaum fundamentalis memangmenghendaki agar kita menjalankan ajaran agama secara taklid buta saja.

Agama, di mata mereka, harus dilindungi dari bahaya rasio. Menurutmereka, rasio manusia hanya boleh digunakan sebatas membenarkan ajaranyang sudah ada, tetapi tak boleh dipakai untuk menafsirkan ulang ajaranitu. Dengan kata lain, rasio hanya dipakai sebatas untuk menjustifikasi"status quo", bukan mengubahnya.

Islam sebagaimana saya pahami bukanlah agama yang dirundung rasa takutdan was-was terhadap rasio manusia semacam itu. Konon, Nabi sendiripernah membuat sebuah statemen yang menarik, "al-din huwa al-'aql, la dina li man la 'aqla lahu,agama adalah akal; tak ada agama bagi orang yang tak memiliki akal.Seorang Muslim, dalam pandangan fikih klasik, dianggap sebagai subyekmoral yang layak menerima perintah dan larangan agama setelah iamencapai usia akil balig.

Dengan kata lain, seseorang layak menjalankan ajaran agama setelah iamemiliki kemampun intelektual untuk berpikir dengan akal sehat,sehingga keputusannya untuk menjalankan perintah agama bukan karenameniru-niru tradisi yang sudah ada, tetapi karena kesadaran dankeinsafan yang mendalam. Inilah agama Islam yang saya pahami: agamayang tak melawan rasio, tetapi justru menjadikannya sebagai landasanpaling penting dalam menjalankan perintah agama.

TANPA saya sadari, sapaan perempuan yang lari di Jalan Commonwealth itu"merangsang" saya untuk berpikir keras tentang banyak hal yangberkaitan dengan Islam. Pertanyaan-pertanyaan di atas itu terusberkecamuk dalam benak saya, sementara saya terus jalan kaki menyusurijalan pulang ke rumah.

Lari, ternyata, bukan saja menyehatkan saya secara jasmaniah, tetapi juga merangsang rohani saya untuk berpikir.

Ulil Abshar Abdalla

Rabu, 23 Juli 2008

"Bilangan Fu"

Kemarin malam gue udah meng-Qatam-kan "Bilangan fu". Bagus banget. Dari 4 buku ayutami, BF menempati urutan kedua yg gue sukai. urutan pertama tetap masih di pegang 'Saman'.

BF itu Ayutami banget. Kritis dan Satir yang lucu. Kadang mampu membuat kita tersenyum sendiri, lalu sesaat kemudian berpikir, trus bertanya-tanya, apakah memang demikian adanya? Buku ini merupakan laku kritik terhadap 3 M. Modernisme, Monoteisme, dan Militerisme. Ada satu dua hal, dimana gue tidak sepakat dng uraian dlm "BF". Kamu mungkin juga akan begitu, seperti beberapa teman gue yang telah membaca buku ini. Berbeda itu kan biasa toh.Di situlah kita bisa belajar menilai semuanya dng pikiran yg lebih terbuka dan toleran.


Dalam BF, gue 'menangkap' ada rasa kecewa dengan monotheisme & modernisme. Padahal, Tidak ada yang hitam putih di dunia ini. Semua pasti abu-abu. Tak selamanya Monotheisme itu buruk melulu, juga tak selamanya singkretisme itu baik melulu. begitu pun Modernisme dan Militerisme.

Menurut gue, kearifan lokal memang layak utk tetap dipelihara, tapi bukan berarti membiarkan kepercayaan klenik terus menghantui masyarakat. Kita juga gak boleh membiarkan masyarakat tetap 'bodoh' dengan hidup dalam ketakutan2 tsb.


Namun demikian, gue setuju satu kritik dalam buku ini, yaitu "Kesalahan kaum Sekular adalah membiarkan agama jatuh ke tangan kaum Fundamentalis".


Over all, this is the book that we are waiting for. It's like a mirror, that we should seek through, to make the peace and better society for all.


Trems mba Ayu. Adalah sebuah kemewahan untuk bisa mendapatkan bacaan sebagus ini, yg di tulis dalam bahasa Indonesia.




Minggu 20 Juli 2008, Peluncuran BF di gelar di Graha Bakti Budaya. Rame banget. Dari Politisi sampai aktivis. Dari wartawan sampai Seniman. dari Film maker sampai artis kapiran. Dari Islam, kresten sampai yang kafir, tumpah ruah memenuhi GBB.






Menurut mba ayu, Mas tosca telah menjadi salah satu inspirasinya. Selain inspirasi soal Global warming, juga soal motel. Motel itu tak selalu identik dengan tempat kencan. Motel juga mrp tempat sembunyi para aktivis dari kejaran intel, seperti mas tosca kala menjadi pelarian semasa orde baru.



Ini mas Luthfie Assyaukanie, Si Tukang Pengulas. Mantap banget ulasannya. Secara doski ahli Monotheisme.



Ini mas Celi, Si Tukang Pengantar. Bersama Rizal Malarangeng Juniornya yang selalu setia menemani.




Ada 3 bagian kisah BF yang dibacakan oleh Landung dengan bagus. Demikian bagus hingga penonton tertawa, terpaku dan betah duduk berjam-jam.

Ini Landung Simatupang, si Tukang Cerita Top Markotop. Kalau ada pementasan ulang, gue pengen nonton lagi.

BF ini begitu kaya dalam bertutur, sehingga Landung tak perlu menambah satu huruf pun dalam teks bacaannya.

Akhirnya kerinduan itu terpuaskan. Kerinduan mendengarkan kisah bagus yg dibacakan oleh Tukang cerita yang bagus.

~ Juli 2008

Kamis, 17 Juli 2008

Ucu sang Agustin

Kemarin malam saya ke TUK. Mau menyambangi Andy untuk cari makan malam bareng. Andy lagi ikut diskusi di TUK. Saya lagi nggak mood dengerin diskusi. Walhasil nunggu di kedai aja. Disana ketemu Ucu sang Agustin, doski lagi di pojokan asik asik ngantor (ini istilah ucu utk browsing dan YM-an).

Ucu sang Agustin ini teman lama saya kala baru kerja di radio, 7 tahun silam. Sama-sama jadi reporter. Sama-sama lagi di pdkt cowok. Pacaran sama-sama (maksudnya double date). Nginep di kantor sama-sama. Tidur di kost sama-sama (maksudnya saya pernah numpang nginep di kost ucu). Sang waktu dan perjalanan hidup me-metamorfosa kan kita. Ucu yang sekarang adalah Ucu yang suka bikin chic lit, suka bikin skrip film, suka bikin film documenter, suka lelaki, juga suka perempuan (haha.. ini masih mentah, perlu di konfirmasi dulu), suka alien, suka tertawa & mentertawakan kehidupan, dan masih perawan (masih gak cu? hehehhe).

Di kedai, saya ikut baca-baca chat dan blog dia. Ini salah satu tulisan di blog dia yang bikin saya ketawa gila, sampe sakit perut. Udahannya jadi malu sendiri sama cara saya ber-ketawa. Nih saya copy paste, biar pada ikut sakit perut juga hahahaha..


Tipe Cowok Dilihat Dari Cara Pipis
BOOOO...Ini geli-geli gimana, gitu. Tapi lucu juga.Yang baca jangan sampe nangis ya ketawanya... Hihihi

1. Cowok Dermawan:Mau pipis di WC Umum, pipisnya nggak keluar, tapi tetep bayar.

2. Cowok Pemabuk:Jempol kiri dipegang dengan tangan kanan, lalu pipis di celana.

3. Cowok Efisien:Udah kebelet pipis, tapi ditahan dulu sampai kebelet buang air besar, baru deh melakukan keduanya dalam satu waktu yang sama.

4. Cowok Suka Melamun:Membuka kancing leher kemeja, mengeluarkan dasi nya, lalu pipis di celana.

5. Cowok Pelupa:Sudah pipis, keluar toilet, buru-buru balik lagi, karena masih pingin pipis beberapa tetes lagi.

6. Cowok Kurang Ajar:Lagi pipis.. eh kentut.. pura-pura cuek lagi!

7. Cowok Komunikatif:Pipis sambil ketik SMS…

8. Cowok Romantis:Pipisnya sambil mendesah, “ahh, ahh..”

9. Cowok Sabar:Nungguin air cebok gak keluar-keluar, manteeeng aja di urinoir…

10. Cowok Pembenci:Abis kencing trus ngeludahin pipisnya..

11. Cowok Percaya Diri:Habis kencing, dedenya dibawa jalan-jalan ke wastafel, trus cebok di wastafel.

12. Cowok Ramah:Ngajak ngobrol orang sebelah sambil pipis, sampe orang itu gak bisa pipis.

13. Cowok Blom Dewasa:Kencingnye masih mencong.. alias miring-miring..

Kamis, 19 Juni 2008

Surat untuk para "Girls Nite Out" Utankayu

Kedai jamu "Bukti mentjos" namanya. Di Seberang UI Salemba, ada cafe corner, nah itu ada jalan masuk namanya Jl salemba tengah. Lurus aja, sampe di pertigaan. Mentjos ada di sebelah kanan. Dari jalan salemba raya sekitar 100 meter (dekat dongs).



Kalo mau makan bubur ayam, mesti telpon dulu, biar di sisain. Karena biasanya jam 19 udah abis. Selain dubur ayam, ada menu lainnya. al: dubur kacang ijo, kolak, sekoteng, wedang jahe, beras kencur, kunyit asem, sampe segala macem ramuan jamu.

Saya tau tempat itu dari temen kantor. Suasananya seru abis.
Itu tempat berdiri sejak jaman kemerdekaan. Di dindingnya banyak memorabilia dan foto-foto jadul b/w dengan para perempuannya masih berkonde berkebaya, anak-anaknya masih bertelanjang kaki, para lelakinya bersisir klimis berbelah pinggir.

Ada beberapa tabel (lebih tepatnya beberapa meja kecil dengan kursi), Ada minibar yang melingkar. Kalo saya sih lebih senang duduk di kursi yang melingkari minibar. Lebih seru. Kita bisa lihat kesibukan mengolah jamu sambil ngobrol dengan para mba-mba berbatiknya. Kita bisa lihat para pengunjungnya. Dari ibu-ibu bersasak tinggi dengan diantar supir, sampe mahasiswa. Dari eksekutif tua sampai ekslusif muda. Dari yang sakit gigi sampe yang hamil tua. Dari yang brondong sampe yang kakek-kakek. Dari yang kalem sampe anak kecil yang cerewet banyak tanya sembari digandeng ortunya juga ada. Konsumen jamu datang silih berganti.


Ada satu lelaki tua (mungkin itu sinse nya), yang siap menjawab keluhan setiap pengunjung. Usai tahap konsultasi, sang sinse meracik bubuk jamu yang sesuai dng permintaan. Bapak yang membawa anaknya yang cerewet itu juga tanya ke sinse "Ada nggak jamu yg bisa bikin anak nurut sama ortunya?" hehe bapak itu pasti bercanda...

Pertama kali saya datang kesana bertiga dengan teman kantor TII. Kita duduk di pojok. Di Mentjos ada selebaran kertas berisi daftar nomor jamu. Membaca itu kita cekikikan dan saling menuduhkan nomor jamu ke temans. "Elo tuh cocok minum nomor 28A".



Temen saya menjawab "Enak aja, elo tuh nomor 35".. trus kita cekikikan lagi.



Trus temen saya yang satu lagi lebih serius tanya "Emang kalo minum nomor 40 bisa kayak apa?" haha hehe kekke mmppff.. kita menahan tawa bareng-bareng. Tau dongs gimana susahnya menahan tawa. Untungnya saya masih tahan kendali.. Saya bilang " sst.. sst.. jangan berisik.. malu tau..."
Beberapa mba berbatik itu tersenyum penuh arti melihat kita saling menuding dan menyebut nomor-nomor jamu.

Ternyata sodara-sodara, mba-mba itu hafal 100-an nomor jamu itu. Saya kan coba ngetes, "Mba nomor 28A jamu apa? nomor 45 jamu apa? nomor 7 jamu apa?", dia menjawab dengan nyantei, "Oh itu untuk membesarkan payudara.. oh itu untuk sari rapet.. oh itu untuk hubungan suami istri biar makin mantep .. oh itu untuk kekuatan lelaki… oh itu untuk susah b***k (ups sorry sensor, maksudnya mba itu mungkin susah BAB).

Lalu satu teman saya terlihat serius, dia trus manggil pak sinsenya. Ah pak sinsenya belum juga ditanya udah menjawab "kenapa? mau tanya soal ini yah..? "
"Lho kok tau?
"iya kalian di pojok rame sekali.." gitu katanya...

Saya udah pernah ajak Andy kesana. Awalnya saya bilang, ada bubur ayam enak di salemba tengah. Bila saya bilang kita ke kedai jamu, pasti doski gak mau. Apalagi dari jalan, kedai itu terlihat gelap. Sampai di depan Mentjos, Andy sempat tanya, "Ini tempat apa? kok nggak kayak jual bubur ayam?" Buru-buru saya minta supir taksi masuk ke dalam parkiran, sebelum si om komplain lebih lanjut.

Namun pas udah masuk, duduk, mengenali suasananya, Andy malah menunjuk nomor jamu ke saya, "kamu minum nomor 35 nih.." gitu sambil senyum.. idih sama aja kelakuannya sama temen kantor saya... hehe...

Gitu deh. Pokoknya itu tempat seru banget..
Girls, mari kita ke Mentjos.
Untuk vivi, mumpung si teguh lagi diluar kota, kita ke Mentjos aja.
Kala nanti si teguh pulang, elo makin tjos.. hehee...

Indonesia

Indonesia

Di luar sel kantor Kepolisian Daerah Jakarta Raya itu sebuah statemen dimaklumkan pada pertengahan Juni yang panas: “SBY Pengecut!”

Yang membacakannya Abu Bakar Ba’asyir, disebut sebagai “Amir” Majelis Mujahidin Indonesia,
yang pernah dihukum karena terlibat aksi terorisme. Yang bikin statemen Rizieq Shihab, Ketua Front Pembela Islam, yang sedang dalam tahanan polisi dan hari itu dikunjungi sang Amir.
Dari kejadian itu jelas: mencerca Presiden dapat dilakukan dengan gampang. Suara itu tak membuat kedua orang itu ditangkap, dijebloskan ke dalam sel pengap, atau dipancung.

Sebab ini bukan Arab Saudi, wahai Saudara Shihab dan Ba’asyir! Ini bukan Turki abad ke-17, bukan pula Jawa zaman Amangkurat! Ini Indonesia tahun 2007.
Di tanah air ini, seperti Saudara alami sendiri, seorang tahanan boleh dikunjungi ramai-ramai, dipotret, didampingi pembela, tak dianggap bersalah sebelum hakim tertinggi memutuskan, dapat kesempatan membuat maklumat, bahkan mengecam Kepala Negara.
Di negeri ini proses keadilan secara formal dilakukan dengan hati-hati--karena para polisi, jaksa, dan hakim diharuskan berendah hati dan beradab. Berendah hati: mereka secara bersama atau masing-masing tak boleh meletakkan diri sebagai yang mahatahu dan mahaadil. Beradab: karena dengan kerendahan hati itu, orang yang tertuduh tetap diakui haknya untuk membela diri; ia bukan hewan untuk korban.

Keadilan adalah hal yang mulia, Saudara Shihab dan Ba’asyir, sebab itu pelik. Ia tak bisa digampangkan. Ia tak bisa diserahkan mutlak kepada hakim, jaksa, polisi--juga tak bisa digantungkan kepada kadi, majelis ulama, Ketua FPI, atau amir yang mana pun. Keadilan yang sebenarnya tak di tangan manusia.

Itulah yang tersirat dalam iman. Kita percaya kepada Tuhan: kita percaya kepada yang tak alang kepalang jauhnya di atas kita. Ia Yang Maha Sempurna yang kita ingin dekati tapi tak dapat kita capai dan samai. Dengan kata lain, iman adalah kerinduan yang mengakui keterbatasan diri. Iman membentuk, dan dibentuk, sebuah etika kedaifan.
Di negeri dengan 220 juta orang ini, dengan perbedaan yang tak tepermanai di 17 ribu pulau ini, tak ada sikap yang lebih tepat ketimbang bertolak dari kesadaran bahwa kita daif. Kemampuan kita untuk membuat 220 juta orang tanpa konflik sangat terbatas. Maka amat penting untuk punya cara terbaik mengelola sengketa.

Harus diakui (dan pengakuan ini penting), tak jarang kita gagal. Saya baca sebuah siaran pers yang beredar pada Jumat kemarin, yang disusun oleh orang-orang Indonesia yang prihatin: ”… ternyata, sejarah Indonesia tidak bebas dari konflik dengan kekerasan. Sejarah kita menyaksikan pemberontakan Darul Islam sejak Indonesia berdiri sampai dengan pertengahan 1960-an. Sejarah kita menanggungkan pembantaian 1965, kekerasan Mei 1998, konflik antargolongan di Poso dan Maluku, tindakan bersenjata di Aceh dan Papua, sampai dengan pembunuhan atas pejuang hak asasi manusia, Munir.”

Ingatkah, Saudara Ba’asyir dan Saudara Shihab, semua itu? Ingatkah Saudara berapa besar korban yang jatuh dan kerusakan yang berlanjut karena kita menyelesaikan sengketa dengan benci, kekerasan, dan sikap memandang diri paling benar? Saudara berdua orang Indonesia, seperti saya. Saya mengimbau agar Saudara juga memahami Indonesia kita: sebuah rahmat yang disebut “bhineka-tunggal- ika”. Saya mengimbau agar Saudara juga merawat rahmat itu.Merawat sebuah keanekaragaman yang tak tepermanai sama halnya dengan meniscayakan sebuah sistem yang selalu terbuka bagi tiap usaha yang berbeda untuk memperbaiki keadaan. Indonesia yang rumit ini tak mungkin berilusi ada sebuah sistem yang sempurna. Sistem yang merasa diri sempurna--dengan mengklaim diri sebagai buatan Tuhan--akan tertutup bagi koreksi, sementara kita tahu, di Indonesia kita tak hidup di surga yang tak perlu dikoreksi.
Itulah yang menyebabkan demokrasi penting dan Pancasila dirumuskan.
Demokrasi mengakui kedaifan manusia tapi juga hak-hak asasinya--dan itulah yang membuat Saudara tak dipancung karena mengecam Kepala Negara.
Dan Pancasila, Saudara, yang bukan wahyu dari langit, adalah buah sejarah dan geografi tanah air ini--di mana perbedaan diakui, karena kebhinekaan itu takdir kita, tapi di mana kerja bersama diperlukan.

Pada 1 Juni 1945, Bung Karno memakai istilah yang dipetik dari tradisi lokal, “gotong-royong”.

Kata itu kini telah terlalu sering dipakai dan disalahgunakan, tapi sebenarnya ada yang menarik yang dikatakan Bung Karno: “gotong-royong” itu “paham yang dinamis,” lebih dinamis ketimbang “kekeluargaan” .

Artinya, “gotong-royong” mengandung kemungkinan berubah-ubah cara dan prosesnya, dan pesertanya tak harus tetap dari mereka yang satu ikatan primordial, ikatan “kekeluargaan” . Sebab, ada tujuan yang universal, yang bisa mengimbau hati dan pikiran siapa saja--“yang kaya dan yang tidak kaya,” kata Bung Karno, “yang Islam dan yang Kristen”, “yang bukan Indonesia tulen dengan yang peranakan yang menjadi bangsa Indonesia.”
“Gotong-royong” itu juga berangkat dari kerendahan hati dan sikap beradab, sebagaimana halnya demokrasi. Itu sebabnya, bahkan dengan membawa nama Tuhan--atau justru karena membawa nama Tuhan--siapa pun, juga Saudara Ba’asyir dan Saudara Shihab, tak boleh mengutamakan yang disebut Bung Karno sebagai “egoisme-agama.”

Bung Karno tak selamanya benar. Tapi tanpa Bung Karno pun kita tahu, tanah air ini akan jadi tempat yang mengerikan jika “egoisme” itu dikobarkan. Pesan 1 Juni 1945 itu patut didengarkan kembali: “Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara leluasa.”

Dengan begitulah Indonesia punya arti bagi sesama, Saudara Shihab dan Ba’asyir. Ataukah bagi Saudara ia tak punya arti apa-apa?


Goenawan Mohamad

Rabu, 11 Juni 2008

Atas Nama Agama

Belakangan ini banyak kejadian menyedihkan yang dialami bangsa ini. Sebenarnya ancaman terhadap kebebasan berpikir dan berexpresi di negeri ini sudah lama terjadi. Kian hari kian mengerikan dan sangat tak masuk akal sehat. Saat ini mungkin merupakan titik kulminasi dari semua ancaman tersebut. Mereka, sekelompok orang yang mengatas namakan agama, merasa diri paling benar dan merasa berhak untuk menghakimi orang lain. Saya bicara soal FPI, MUI, FUI. Saya tak habis pikir, Apa yang ada di otak mereka ketika mereka merasa berhak menghakimi, mengadili, menzalimi dan menyakiti orang yang berbeda dengan mereka? Cuma Tuhan yang memiliki hak prerogative untuk melakukan itu. Berarti mereka telah mengambil hak prerogative itu dari Tuhan. Berarti mereka berlaku bagaikan Tuhan.

Ketika pandangan sempit sekelompok orang yang mengatakan dirinya lah yang benar, lalu seseorang dilukai, dibakar rumahnya, di cerabut dari lingkungannya, kehilangan pekerjaan, tidak bisa sekolah lagi, dan trauma berkepanjangan, Agama mana yang bisa membenarkan ini ? Tidak ada satu alasan pun –alasan menurut agama apapun- yang bisa membenarkan perlakuan keji tersebut. Bukankah Tuhan itu maha kasih?

Jikalau Ahmadiyah itu beda, selama tidak merugikan orang lain ya biarkan saja. Biarkan masing-masing orang berbeda asal tidak mencuri hak orang lain. Toh kalo mereka berdosa dan masuk neraka, mereka sendiri yang masuk neraka. Biarkan Tuhan yang menghakimi di hari terakhir nanti. Lagipula siapa yang tau nantinya ada neraka atau surga? Cuma orang yang sudah mati yang tau keberadaan itu, yang tau mana kebenaran itu. Selama manusia masih hidup, semua masih dalam pencarian.

Bukankah ini Negara Demokrasi? Sejatinya, Demokrasi itu bukanlah suara terbanyak. Tapi Demokrasi adalah bagaimana kaum minoritas bisa tetap eksis. Bila demokrasi di artikan dengan voting terbanyak, dominasi kaum mayoritas, itu bukanlah Demokrasi, tapi Diktator, Tirani, Penjajahan.

Senin 4 Juni 2008 yang lalu, saya dengar Pernyataan Buya Syafii Maarif dalam wawancara telepon dengan salah satu radio swasta di Jakarta. Begini pernyataannya:
"Aparat jangan membiarkan kekerasan FPI terus berlabuh. SBY dan JK harus kompak. Kekuatan-kekuatan akal sehat di negeri ini harus berkumpul, untuk meminta pemerintah membubarkan FPI demi martabat bangsa. Demi Pancasila dan UUD. Ini Negara hukum. Di muka bumi ini orang yang tidak beragama pun juga harus di lindungi, karena mereka juga warga Negara.."
Saya setuju banget dengan pernyataan itu.


Tak lama, si endut, partner saya tersayang, menuliskan sekelumit nasib pancasila ke depan nanti, dalam blog kantornya. Ini saya copy pastekan…

29/05/2008 12:46
Religius Demokrat

Adakah tempat bagi Pancasila di tengah-tengah kebangkitan agama?
Beberapa tahun terakhir, kita menyaksikan kebangkitan kembali agama. Sesuatu yang tak pernah diprediksi sebelumnya. Pada April 1966, majalah TIME menurunkan laporan utama Is God Dead? Pada awal milenium ini, The Economist dengan percaya diri menulis obituari tentang Tuhan. Tapi, peristiwa 11/9 mengubah itu semua!
Kini, kita menyaksikan dunia yang sedang berubah. Inilah masa, ketika agama menjadi semakin penting bagi kehidupan banyak orang. Religion strikes back. Lihatlah Nigeria yang kini terbelah antara utara yang Islam dengan selatan yang Kristen. Pantekosta berkembang pesat di Korea Selatan dan Brazil. Negeri Balkan terpecah antara Bosnia dan Kosovo yang Islam dengan Serbia yang menganut Orthodoks dan Kroasia yang Katolik. Partai berbasis Islam AKP kini berkuasa di negeri sekuler Turki. Pendeta Budha di Burma bangkit melawan rejim militer. Di negeri gajah putih, para Biksu menuntut pemerintah menempatkan Buddhisme sebagai agama resmi negara.

Kebangkitan serupa juga terjadi di Indonesia. Gereja-gereja di mal, kini dipenuhi para jemaat. Mesjid-mesjid makin lantang melantunkan azan dan ceramah. Organisasi massa dan partai berbasis agama tumbuh subur memanfaatkan ruang demokrasi.
Adakah tempat bagi Pancasila di tengah masyarakat yang sedang berubah ini?
Pada 1 Juni kita memperingati hari lahir Pancasila. Dulu, Soekarno menawarkan Pancasila sebagai kontrak sosial, untuk mengikat seluruh kelompok yang mendukung perjuangan. Sila pertama adalah upaya merangkul kelompok agama. Kemanusiaan yang adil dan beradab dipakai untuk mengikat kaum humanis. Persatuan Indonesia ditujukan bagi para nasionalis. Kaum demokrat diakomodasi lewat sila keempat. Sementara kelompok sosialis diberi kompensasi sila kelima.

Setelah 63 tahun kelahirannya, Pancasila menghadapi tantangan baru. Kita melihat kecenderungan menguatnya politik identitas seiring kebangkitan agama. Kini mulai muncul suara yang menginginkan agar negara diatur berdasarkan agama. Di tingkat pusat, sejumlah fraksi di parlemen sempat mengusulkan agar tujuh kata dalam Piagam Jakarta diakomodasi ke dalam konstitusi. Sementara di daerah, bermunculan peraturan bernuansa syariah. Inilah fenomena yang disebut sebagai creeping syariatism, atau syariatisasi yang merayap ke puncak kekuasaan. Pertanyaan berikutnya, seberapa besar dukungan terhadap ide ini?
Riset Lembaga Survei Indonesia menunjukkan, dukungan publik kepada Pancasila sebenarnya masih sangat besar. Sebanyak 83% masyarakat menganggap Pancasila dan Undang-Undang Dasar masih cocok bagi Indonesia. Bandingkan dengan 5,3% suara yang menganggap Pancasila dan Undang-Undang Dasar kurang cocok dan harus diganti. Artinya dari kurang lebih 150 juta populasi masyarakat dewasa, sekitar 124,5 juta mendukung Pancasila. Sebaliknya yang tidak menginginkan hanya sekitar 7,95 juta orang. Secara sederhana, penelitian ini menunjukkan bahwa kesadaran konstitusional masyarakat kita masih sangat tinggi.
Penelitian Saiful Mujani dan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat PPIM (2001), menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia memang semakin religius. Tapi di sisi lain, penerimaan terhadap nilai-nilai demokrasi juga besar. Temuan ini, seolah mematahkan klaim Samuel P. Huntington yang menganggap kesalehan berbanding terbalik dengan sikap demokratis.

Semangat keimanan umat Islam di Indonesia diterjemahkan ke dalam kegiatan kolektif, antara lain dengan berpartisipasi dalam organisasi keagamaan seperti NU, Muhammadiyah, atau Majelis Taklim. Tanpa sengaja, aktifitas sosial ini membuat mereka menjadi lebih terbuka dan terbiasa melihat keberagaman. Dalam istilah anak muda, orang yang lebih gaul, akan lebih terbuka melihat perbedaan. Inilah generasi baru yang disebut sebagai kaum religius demokrat. Pada merekalah, masa depan Pancasila dan keberagaman kita akan dipertaruhkan. Selamat Hari Pancasila.

Andy Budiman
Asisten Produser Program "Topik Minggu Ini"

Inilah salah satu hal yang bikin saya makin suwayang sama dia. Klop banget dah dengan pemikiran dia :)


Rabu 11 Juni 2008

Kamis, 24 April 2008

Afternoon Wine

Jelang akhir pekan, di ujung hari kerja, di ujung bulan Februari, entah kenapa hari itu warna pakaian kami senada. Hitam ungu berenda-renda. Elho? Rendanya mana?? Rendanya ada di tempat-tempat tertentu.. hehehe hep mmppff..








Entah kenapa ada teman yang bawa wine. Kebetulan ada yang bawa kamera. Walhasil kita foto foto lah.





Maklum, jeung jeung di kantor ini pada banci foto semua. Setiap ada bunyi 'cekrek' sontak ambil posisi. Gak pernah bisa tahan untuk tidak bergaya. Kadang suara 'cekrek' bunyi pengharum ruangan juga bisa membuat mereka berpose. ( Haha ini becanda dongs).


Kita saling gantian motret. Mas fau (OB kantor) juga di daulat jadi fotografer dadakan. Setelah wine habis, pesta pun bubar. Semua pulang dengan membawa sisa tawa masing-masing. Saya dan Anggie sih masih terus melanjutkan tawa selama perjalanan pulang..




Iih gak penting banget ya tulisan ini. Haha…

Jumat 22 feb 2008

Jumat, 04 April 2008

Kantor baru dan keria-an



Udah lama nih gak ngeblog. Sekarang saya sudah pindah kerja ke The Indonesian Institute. Sebuah lembaga yang memfokuskan diri pada penelitian kebijakan public di Indonesia. Ruang lingkup penelitiannya meliputi bidang ekonomi, sosial, dan politik.
Disini saya menjadi Media Relation. Tugas utama saya mengurus program dialog. Selain itu tentunya saya juga bertugas untuk menyebarluaskan keberadaan TII ke dunia di luar sana, agar lembaga ini dapat menjadi pusat rujukan akan hasil penelitian dan kebijakan public di Indonesia.

Hari-hari di kantor baru memang agak berbeda dengan di kantor lama. Di sini saya dituntut untuk bisa lebih tampil cantik, elegan, dan update dengan issue terkini. Maklum para boss besar saya disini terkenal amat dandy, memperhatikan penampilan, dan mengikuti perkembangan kebijakan public. Jadi sebagai anak buahnya, kami disini, tanpa diminta, merasa harus mampu merefleksikan karakter sang boss. Bekerja di lembaga penelitian , tentunya membuat saya juga harus paham dengan isu terkini terkait hasil penelitian.

Sampai hari ini sih saya menikmati banget kerja disini. Teman-teman disini seru banget. Disini saya punya 4 teman karib. Adinda sang direktur program yang pinter, Anggie si meriah yang suka gituan, Lila si trendsetter mode, dan Yunita yang lagi sakit tipus, (duh kacian).

Beberapa waktu lalu, Boss besar saya mendanai sukuran atas berjalannya program Dialog. Padahal kayaknya baru berjalan 6 episode, perjalanan masih panjang. Masih ada puluhan episode Dialog yang harus dibuat hingga tahun 2009 nanti. Hehe tapi gak ada salah nya dong untuk mensukuri apa yang sudah dilalui.





Bersama 4 rekan dan seorang board (mestinya ada 2 board yg ikut, tapi salah satu dari mereka membatalkan diri) kami merayakan sukuran di Nu China kemang. Dari semua minuman yang ada, saya paling suka minuman yang warna nya biru, kata Lila namanya hypnotic. Salah satu teman sempat mabora dan nembak. Siapa dia? eits rahasia dongs.. 
Seru. Tapi ada satu kekurangannnya. Gak ada bangku (gak dapat table). Walhasil saya dan jeng din sering ilang-ilangan, berdua pergi ke rest room untuk numpang duduk. Cuwape banget bo semalaman berdiri hehe..



Jelang dini hari, kami pulang. Bukan pulang ke rumah masing-masing, tapi ke hotel Niko. Kami cewe-cewe buka kamar disana. Ini masih atas biaya sang boss. Kala mentari mulai menyengat, barulah kami pulang ke rumah dan alamnya masing-masing.

Ah.. cuwape tenan, tapi seru bow.

JKT 6 Maret 2008

Rabu, 16 Januari 2008

New year eve’ with bias gender (Uugh..)

Kemana malam tahun baru? Demikian banyak teman bertanya. Malam tahun baru kami tetap ada di Jakarta, karena si om gak mau ambil cuti. Si om masih terhitung anak baru di kantornya. Meski sebenernya sudah setahun lebih dia kerja di sana, tapi teteup doski gak enak untuk ngajuin cuti.

Malam jelang tahun baru, di tengah hujan gerimis kami memenuhi undangan seorang kawan di bilangan Simprug Golf Jakarta Selatan. Kami datang agak awal. Rumahnya besar sekali dengan gaya eklektik di setiap ruangnya. Perpaduan antara modern dan klasik. Semua serba wall treatments dengan wall paper cantik hingga di daerah basah. Complete with huge piano and pure real flowers Accessories. So comfortable zone.

Ketika datang kami langsung disambut beberapa orang berambut cepak. Mereka berseragam safari, memegang hp dan payung.Tentunya mereka bukan ojek payung  mungkin semacam satpam gitu (Tapi dari cara bersikap, kayaknya mereka lebih dari sekadar satpam).
Kami masuk melewati beberapa ruangan hingga akhirnya sampai ke sebuah ruang kerja dengan satu set sofa. Beberapa tamu telah hadir disana.

Ketika kami datang, salah seorang tamu (dari Metro TV) langsung berkata, “Perempuan di sebelah sana..disini khusus cowok-cowok”.
Elho?? Kok dipisah-pisah gitu sih? Bias gender banget sih! Kayak Muhammadiyah aja. Sumpah dalam hati saya misuh-misuh. Lagi pula ini malam tahun baru, cuma sekali dalam setahun. Tentunya saya ingin melepas tahun baru ini dengan laki saya dong, kekasih dan orang terdekat saya. Tapi karena gak enak sama yg lain, dan tidak ada penolakan dari andy, terpaksa saya menurut saja.

Saya pergi meninggalkan ruangan, menuju area buffet dekat kolam renang. Demi melepaskan kekesalan, saya menyibukan diri mencicipi semua makanan. Saya berbasa basi dengan beberapa perempuan yang baru saya kenal disana. Sumpah garing banget dan mati angin. Saya sempat sms andy menanyakan beberapa teman yang kabarnya juga diundang ke acara tsb. Namun andy tidak bisa menjawab apakah para temans itu akan datang.



Setelah beberapa jam berlalu akhirnya datang juga teman-teman kami itu. Walhasil saya bisa berhaha-hihi dan menikmati tutup tahun dengan hangat. Mendekati tengah malam, tuan rumah menggelar kembang api yang mestinya bagus. Namun kami cuma bisa dengar suaranya yang meledak ledak. Indahnya percikan kembang api tidak terlihat karena void kolam renang yang kurang lebar sehingga menutup pandangan. Thanks to mas jeffry dan mba ina, atas undangannya. Atas Wine yang melimpah dan enak banget, atas keik lezat yang entah apa namanya (saya habis 3 loh hehe), atas buah tangan satu botol wine dan keik coklat lucu untuk di bawa pulang. Thanks to andy who still by my side, to share laugh, live, and much love. This is ours 7th years dear… I have one big new year resolution, would you support that ?