Welcome To My Paradise

Welcome To My Paradise

Selasa, 27 Januari 2009

Dari Kunstkring ke Buddha Bar


Gedung bekas kantor imigrasi di pojokan Jalan Cut Nyak Dien dan Jalan Teuku Umar, Menteng Jakarta Pusat ini akan dijadikan Buddha Bar, sebuah konsep restoran yang dibawa oleh Raymond Visan dari Perancis.


Sabtu, 22 November 2008 | 15:59 WIB

Dastin Hillery, Suci Mayang Sari, dan Agus Surja Sadana, tercatat sebagai tiga pemenang sayembara konsep penggunaan dan pengelolaan bangunan cagar budaya, dalam hal ini gedung eks Imigrasi atau gedung Kunstkring di pojokan Jalan Cut Nyak Dien dan Jalan Teuku Umar. Itu tahun 2003. Kini nama itu barangkali sudah terlupakan atau dilupakan.

Dastin, juara pertama, mengusulkan gedung digunakan sebagai perikatan seni Jakarta sesuai fungsi di masa lalu. Lantai dasar gedung berlantai dua itu diusulkan sebagai ruang pamer utama. Sedangkan lantai dua digunakan untuk kuliah umum, talkshow, diskusi, termasuk penyediaan toko buku seni dan arsitektur.

Mayang Sari, juara kedua, mengusulkan gedung digunakan komunitas seni arsitektur Jakarta. Sedangkan Agus Sadana, juara tiga, mengusulkan gedung dimanfaatkan sebagai resto bernuansa tempo dulu.

Setelah sempat terbengkalai, kini gedung rancangan PAJ Moojen itu siap berdegup kembali. Gedung itu akan menjadi Buddha Bar, sebuah konsep restoran yang dibawa oleh Raymond Visan dari Perancis. Pengelolaan dipegang PT Nireta Vista Creative (PT NVC) selama lima tahun. Ini merupakan kali pertama sebuah bangunan cagar budaya (BCB) dipugar kemudian berfungsi lagi dengan pengelolaan oleh pihak swasta.
Tentu saja, Pemprov DKI masih menjadi pemilik sah gedung itu. Menurut Setia Gunawan, Kasubdis Pelayanan Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI, pengelola menyewa gedung itu selama lima tahun dengan nilai sekitar Rp 4 miliar atau Rp 800 juta/tahun.

Selain Buddha Bar, pengelola menyediakan sedikit lahan untuk pameran lukisan. Galeri itu ada di lantai bawah bagian depan. Sisanya, untuk restoran dan lounge. Gubernur DKI Fauzi Bowo berencana membuka tempat baru itu pada 28 November 2008 mendatang.

Apresiasi seni

Dalam buku Menteng, Kota Taman Pertama di Indonesia karangan Adolf Heuken, gedung dengan dua menara tersebut merupakan awal sejarah arsitektur Indonesia. Semula gedung itu milik Nederlandsch Indische Kunstkring (Lingkar Seni Hindia Belanda), perkumpulan yang membangkitkan apresiasi warga Batavia terhadap seni.

Gedung dibangun tahun 1913, setelah pada tahun 1912 NV De Bouwpleg menyumbangkan sebidang tanah. Dalam buku itu juga disebutkan, selama sepuluh tahun uang sewa restoran Stam en Weyns, yang menggunakan lantai bawah gedung, dipakai untuk melunasi pinjaman.

Di tempat ini diadakan pameran lukisan, pertunjukan musik, dan ceramah. Tak ketinggalan perpustakaan berisi buku tentang kesenian juga tersedia. Tahun 1936 dibuka museum berisi lukisan karya van Gogh dan Picasso, yang dipinjam dari museum di Eropa. Tak ketinggalan pameran lukisan tentang Oud Batavia digelar di sini.

Dari catatan Warta Kota, tahun 1993 bekas gedung Imigrasi yang saat itu dihargai Rp 9 miliar ini ditukar guling (ruilslag) dengan gedung kepunyaan PT Mandala Griya Cipta (MGC) milik Tommy Soeharto. Sebagai gantinya, Departemen Kehakiman diberi kantor baru di Kemayoran.

Namun kemudian pada sekitar tahun 1999, kondisi bangunan yang dilindungi dan berklasifikasi A ini berantakan. Kusen, daun pintu dan jendela lenyap. Pagar seng menutupi sekeliling bangunan. Tahun 2002, Pemprov DKI membeli gedung ini kembali. Setahun kemudian diadakan sayembara dan kemudian pemugaran dimulai.

Pradaningrum Mijarto

Sumber: http://www.kompas.com/read/xml/2008/11/22/15594176/dari.kunstkring.ke.buddha



From Kunstkring to Buddha Bar - by Pradaningrum Mijarto



This Ex-Immigration building at the corner of Cut Nyak Dien street and Teuku Umar street, Menteng, Central Jakarta, will become Buddha Bar, a concept of restaurant which is brought by Raymond Visan from France.



Dastin Hillery, Suci Mayang Sari, and Agus Surja Sadana, noted as the top three winner of the contest of the usage and management of heritage building concept, in this case the ex-immigration building or known as Kunstkring Building at the corner of Cut Nyak Dien street and Teuku Umar street. That was year 2003. Now that name maybe has forgotten.

Dastin, the first winner, suggest to use the building as a Jakarta art union, suit as its function at the past. The ground floor of this 2 floors building was suggested to use as a main showroom. While the 2nd floor was suggested to use as a public lecture room, talk show, discussion forum, including art book and architecture store.

Mayang Sari, the second winner, suggest to use the building as a Jakarta architecture art community. While Agus Sadana, the third winner, suggest to use the building as a past nuance restaurant.

After neglected for some time, now the building designed by PAJ Moojen ready to beating again. It will become
Buddha Bar, a restaurant concept which is brought by Raymond Visan from France. This bar will manage by PT Nireta Vista Creative (PT NVC) for 5 years. This is the first time for a heritage building restored and re-function under management from private party.

The owner of this building is still Jakarta Government of course. Setia Gunawan, Kasubdis (Head of sub-agency) of Official Jakarta Culture & Museum Service said the rent price is about Rp 4 billion for 5 years or Rp 800 million/year.

Besides Buddha Bar, management kept some space for picture gallery which is on the first floor in the front area. The rest is for restaurant and lounge. Governor of Jakarta, Fauzi Bowo, scheduled to officially open the new place at November 28, 2008.

Art Appreciation

In the book
Menteng, Kota Taman Pertama di Indonesia by Adolf Heuken, the 2 tower building is a form of the beginning of Indonesia architecture history. Originally the building owned by Nederlandsch Indische Kunstkring (Nederland Art Circle / Lingkar Seni Hindia Belanda), a club that rise Batavia people's appreciation to the art.

The building was built in 1913, after NV De Bouwpleg donated a piece of land in 1912. It was said in that book that for a decade rent money from
Stam en Weyns restaurant, which was using the first floor, used to paid off the debt.

This place was held to painting exhibition, music concert, and lecture. There was also a library filled with books about art. A museum containing art works from Van Gogh and Picasso, borrowed from Europe museums, was opened here in 1936. Also a picture exhibition about Oud Batavia was held here.

From Warta Kota's record, in 1993, this ex-Immigration building, that was priced Rp 9 billion at that time, was exchanged
(ruilslag) with a PT Mandala Griya Cipta (MGC) building owned by Tommy Soeharto. As a compensation, a new office at Kemayoran was given to Justice Department.

Later at about 1999, the condition of this law protected and A-classification building was very messy and poor. Windows, doors, frames were disappeared. Iron-sheeting fence covered around the building. In year 2002, Jakarta government bought back this building. A year later a contest was held and a restoration was beginning.

resource : http://jakartathecity.blogspot.com/2008/11/from-kunstkring-to-buddha-bar.html

Senin, 26 Januari 2009

Sering Terjadi "Kasus Jatuh di Tempat Biasa" di Sarinah

Pada Selasa 12 Januari 2008, saya terjatuh di dalam area gedung Sarinah. Kala itu saya ingin menuju lift yang menghubungkan lantai satu dengan lantai-lantai dibawahnya (lift yang berada dekat klinik dan dekat ATM). Lift tersebut berada di dalam selasar yang berpintu. Untuk menuju lift itu tentunya kita harus melewati pintu. Sayangnya, persis di garis batas pintu, terdapat beda tinggi lantai yang lumayan tinggi, sekitar 20 cm.

Bagi orang-orang yang baru pertama kali memasuki daerah itu, tentunya tidak akan menyadari bila persis di bawah ambang pintu, ada beda tinggi lantai. Menurut cara mendesain bangunan yang benar, bila memang ada beda tinggi lantai, seharusnya di depan pintu di beri bordes dulu. Jangan langsung turun begitu rupa.

Sambil mendorong pintu, dengan yakinnya saya melangkah tanpa menyadari adanya turunan. Walhasil kaki kanan saya terpleset dan terplintir, sementara kaki kiri saya masih melayang melangkah belum menapak lantai. Badan saya limbung dan jatuh kedepan. Saya sempat syok dan hampir pingsan. Butuh waktu agak lama bagi saya untuk menyadari apa yang terjadi. Orang-orang yang kebetulan berada di sekitar membantu saya menuju klinik yang tidak jauh dari sana. Dari orang-orang tersebut saya mendengar, kasus semacam saya sudah sering terjadi. Bahkan ketika orang-orang membawa saya ke klinik, tanpa memberi penjelasan, sang dokter langsung bisa menerka, “Jatuh di tempat biasa? di pintu dekat lift?”. Ternyata kasus ini sudah sering pula di temui oleh sang dokter.

Kedua lutut dan pergelangan kaki kanan saya cedera. Saat itu saya masih bisa berjalan. Klinik memberikan balsam pada cedera saya. Saya kembali ke kantor untuk bekerja. Namun makin lama pergelangan kaki saya makin sakit dan membengkak sebesar bola tenis. Kaki saya tidak bisa lagi untuk menapak dan menyangga tubuh. Kedua lutut dan tangan saya membiru. Akhirnya saya kembali berobat ke RSCM. Menurut hasil rontgen, pergelangan kaki saya mengalami Soft Tissue swelling di sekitar maleolus lateral. Jaringan lunaknya bergeser. Dokter meng-Gips cedera saya dan selama dua minggu saya harus mengistirahatkan kaki saya.



Atas kejadian ini saya merasa amat dirugikan. Saya tidak bisa bekerja. Saya tidak bisa beraktifitas. Kehidupan saya terganggu. Bahkan untuk ke kamar mandi pun sulit. Saya kesal dan amat dirugikan.

Menurut orang-orang dan dokter klinik di gedung Sarinah, kasus semacam saya bukan pertama kalinya terjadi. Mengapa tidak ada perhatian dari pengelola Gedung Sarinah?Bila memang ada beda tinggi lantai, seharusnya di depan pintu di beri bordes dulu. Jangan langsung turun begitu rupa.






Pihak pengelola Gedung Sarinah harus bertanggung jawab atas keselamatan para kastemernya. Semoga saya merupakan korban terakhir dari turunan tersebut.

~ Suci Mayang