Welcome To My Paradise

Welcome To My Paradise

Jumat, 12 September 2008

HUT AJI Indonesia ke 14

Awal september '08 kalo nggak salah, AJI Indonesia membikin perhelatan ulang tahunnya yang ke 14 di Ballrom Hotel Intercontinental Midplaza. Saya bukan anggota AJI. Tapi saya merasa penting untuk menyambangi acara itu. Yah sekadar sosialisasi lah, dan berharap bisa mendapatkan manfaat di kemudian hari dari sosialisasi semacam ini (hehehe pamrih ya.. :) )




Disana saya ketemu beberapa teman yang mungkin sudah berbulan (bahkan bertahun) gak ketemu. Seperti kury suditomo, Teman saya liputan dulu. Saya sampe lupa, kapan terakhir ketemu dia. Mungkin kala dia baru punya anak satu. Kini doski udah beranak dua bow. Tapi tetep itu badan langsing. Bikin ngiri deh hehe… saya yang belum punya anak, badan udah melar nggak karuan begini.

Ulang tahun AJI ini terbilang mewah dan meriah. Logo Sponsor bertebaran di backdrop nya. Dari LSM, NGO , perusahaan media hingga perusahaan minyak Internasional. Saya Mahfum, kalo AJI bikin acara, banyak sponsor antri untuk kasih dana. Saya sempat dengar ada penilaian miring soal perhelatan ini. AJI kan terkenal independen, kok mau terima dana dari para kapitalis?

Kalo menurut saya sih, gak papa terima dana dari perusahaan-perusahan itu. Kan mereka memberikan dana lepas. Mereka tidak turut campur dalam kontain acara. Jadi AJI masih tetap independent untuk menyuarakan misi visinya.




Lagi pula hari gini, kita mesti realistis lah. Mungkin dalam 2-3 tahun ke depan, organisasi semacam AJI gak bisa lagi bergantung pada dana luar negeri. Jadi mulai saat ini harus berani mempertimbangkan para penyandang dana lokal. Juga termasuk perusahaan media yang katanya kapitalis itu. Selama tidak berkongsi dengan penyandang dana mafia rasanya masih boleh lah.




Perhelatan AJI juga menghadirkan Wapres Jusuf Kala. Hal ini juga memunculkan kritik dan komplennya tersendiri. Ada yang mengeluh, kehadiran JK yang penuh birokrasi protokoler membuat kenyamanan terganggu. Yah namanya juga wakil presiden, tentunya ada aturan-aturan protokoler yang mesti di jalankan. Seperti pemeriksaan intensif sejak pintu masuk hingga ke ballroom. Tapi menurut saya, dibanding SBY , kehadiran JK ini lebih menyenangkan. Kalau SBY, kita sudah terganggu dengan segala macam protokolernya, kita masih disuruh mendengarkan pidato SBY yang sering mengantukan itu, selesai pidato dia segera pergi. Jadi kita cuma di suruh jadi pendengar aja.

Beda dengan JK. Seusai JK berpidato, atas permintaan protokoler wapres, sang MC meminta hadirin berdiri karena JK mau meninggalkan ruangan. Tapi hal ini di tolak oleh JK, karena dia masih mau tinggal utk mengikuti acara selanjutnya. Beberapa saat kemudiann, MC kembali meminta hadirin berdiri, tapi JK menolaknya lagi, karena dia masih ingin tetap tinggal. Hebat euih…

Selain itu, Pidato JK juga menarik, seru, dan cespleng.
Jadi saat itu, baik JK dan ketua AJI, saling pidato dan tak sungkan untuk saling kritik seputar kebebasan Pers. Tema yang diusung AJI dalam perhelatannya kali ini.
Nah , dari situ kan terlihat kalo masing-masing bisa tetap independent menyuarakan misinya. Untuk memperjuangkan misi apapun, komunikasi dan interaksi adalah suatu hal yang patut untuk di lakukan. Untuk bisa makin mendengungkan misi, tentunya perlu event yang besar dan dihadiri oleh banyak pengambil keputusan.
Kalo misalnya acara AJI itu di gelar di kantor AJI dengan tumpengan saja, hanya mengundang para anggota dan simpatisannya saja. Bagaimana dengung misi nya bisa menyebar ke se antero negeri ? iya toh?
Tapi lepas dari semuanya, ini cuma pendapat pribadi saya aja.


Seusai menghadiri HUT AJI, saya bersama Andy langsung lanjut ke lantai bawah, di Bacchus, menyambangi undangan seorang kawan baik untuk sekadar ngobrol dan nge-wine. Setelah malam sudah sepenuhnya matang, bahkan mungkin ayam jantan siap beranjak berkokok, rendezvous Bacchus pun berakhir. Saya dan andy meluncur pulang.

Cheers
~ mayang

Jumat, 05 September 2008

Kejadian-kejadian kecil saat lari di Boston

Dibawah ini Tulisannya Mas ulil.
Membacanya membuat saya membayangkan mas ulil dengan celana training dan handuk melingkari leher, berlari nyusuri pedestrian di samping danau yang ada bebek dan angsanya hehe.. Trus juga terbayang keramahan orang2 Boston nya.. lalu sekelebat muncul ingatan saya saat uluran jabatan tangan saya di tolak oleh beberapa narsum yg kawatir berdosa bila menyentuh tangan saya.. agh sebel.. Jadi ingat perkataan Gusdur, "kalo perempuan satu bus saya ajak salaman, apa itu berarti semua perempuan itu mau saya kawinin semua ? "
~ mayang


Kejadian-kejadian kecil saat lari di Boston
KEGIATAN yang selalu saya usahakan untuk saya lakukan secara rutinselama sekolah di Boston ini adalah lari. Ini adalah olah raga murahyang tak membutuhkan modal apapun kecuali kemauan saja, selain, tentu,beberapa dolar untuk membeli sepatu olah raga.

Hari Sabtu kemaren (30/8), saya lari dan mencetak rekor baru yangsungguh menyenangkan buat saya. Biasanya, saya hanya lari selama 30menit. Setiap lari, saya berusaha memperbaiki rekor saya sendiri. Sejaklama, saya ingin bisa lari secara konstan selama satu jam. Rekor itu,akhirnya, saya capai kemaren.

Saya juga menempuh rute baru yang tak pernah saya telusuri selama ini.Saya mulai dari jalan yang dekat dengan rumah saya di kawasan NewtonCentre, yaitu Beacon St, lalu belok ke Washington St, untuk kemudianmasuk ke jalan utama Commonwealth St, jalan panjang yang tembus keUniversitas Boston. Total jarak yang saya tempuh kira-kira 6,5 mil,sekitar 10 km.

Ini jelas bukan jarak yang panjang, apalagi untuk pelari yangprofesional. Tetapi, ini jarak yang sudah sangat jauh untuk ukuransaya. Saya juga menempuhnya dengan lari yang tak terlalu kencang. Sayamemang tak "ngoyo" untuk lari cepat. Buat saya, yang penting adalahlari konstan untuk menguji ketahanan.

Saat di Jakarta dulu, saya jarang lari di tempat terbuka, karena susahmencari tempat di dekat perumahan saya yang nyaman untuk lari dan bebasdari polusi udara karena asap kendaraan bermotor. Kalau hendak lari,biasanya saya pergi ke fitness centre yang berjarak kira-kira 3 km dari perumahan saya; di sana saya lari secara "artifisial" dengan sebuah alat yang disebut thread milll.

Lari di medan terbuka tentu beda sekali dengan lari secara artifisialdengan sebuah alat. Selain gratis, lari di tempat terbuka membuat kitamerasa "bersatu" dengan alam sekitar; membuat kita merasa sebagaimanusia.

Kota Boston, terutama di daerah Newton Centre di mana saya tinggal,adalah surga untuk mereka yang senang "jogging", lari, jalan kaki ataubersepeda. Trotoarnya lumayan lebar sehingga nyaman untuk lari. Secaraumum bahkan bisa dikatakan, Boston adalah sorga untuk siapa saja yangingin melakukan kegiatan olah-raga dengan gratis.

Fasilitas oleh raga disediakan secara gratis oleh pemerintah kotadengan melimpah ruah. Di mana-mana saya lihat hamparan rumput danlapangan terbuka untuk berbagai jenis olah-raga: base-ball, soft-ball(dua jenis olah raga paling populer untuk masyarakat Amerika), basketball, tenis, dan sepak bola. Biasanya di sekitar lapangan itu dibangun "playground", lapangan tempat bermain untuk anak-anak.

Ini kontras dengan kota-kota di Indonesia yang secara umum nyarismengabaikan sama sekali fasilitas umum yang bisa digunakan olehmasyarakat untuk melaksanakan kegiatan olah-raga secara gratis.

Di kawasan tempat saya tinggal, ada beberapa danau kecil atau "dam" (reservoir).Salah satunya adalah tempat yang dikenal dengan Reservoir di kawasanBrookline, persis di samping universitas Katolik terkenal di kotaBoston, yaitu Boston College.

Di sekeliling dam itu, dibangun "track" yang nyaman untuklari. Jika kita mengelilingi dam itu, kita sama saja dengan menempuhjarak kira-kira 2,5 mil. Ini adalah kawasan yang sangat enak untukjogging, lari, atau sekedar jalan kaki atau bersepeda. Daerahnya sangatindah; di beberapa bagian, dikelilingi oleh hutan kecil. Setiap hari,mulai pagi hingga malam, selalu saja ada orang yang lari atau jalankaki di sana. Tetapi karena jaraknya agak jauh dari rumah, saya jaranglari di sana.

SAAT lari, kadang-kadang saya menjumpai sejumlah kejadian yang menarikperhatian saya. Sabtu kemaren itu, ada beberapa kajadian yang menariksaat saya lari; tentu saja menarik dalam pandangan saya, dan belumtentu kejadian yang sama menarik bagi orang-orang lain.

Saat menyusuri Jalan Beacon, beberapa meter setelah melewati kota kecilWaban, saya bertemu dengan seorang lelaki setengah baya yang sedangmenyiangi taman di depan rumah. Saat saya lewat, dia teriak, "How are you there!"Tentu saya tak kenal dia, dan dia juga tak kenal saya. Tetapi sapaanbersahabat itu mengagetkan saya yang saat itu sedang konsentrasi untuklari. Dengan sedikit agak gugup dan tentu ngos-ngosan, saya teriakbalik, "Good. How are you sir!"

Kehangatan seperti ini beberapa kali saya alami waktu berpasan denganiorang-orang yang entah berangkat kerja atau pulang kerja di kotaNewton. Saat menuju ke stasiun kereta di dekat rumah dan berangkat kekampus, misalnya, saya kerap menerima sapaan dari orang-orang yang taksaya kenal, "Hi, how are you", atau "Good morning".

Saya tahu, kehangatan semacam ini mungkin sudah tak ada ditengah-tengah kota besar seperti New York, Chicago, Los Angeles, atauBoston sendiri. Saya beruntung tinggal di kota kecil di luar kotaBoston di mana kehangatan ala kampung Jawa ini masih bertahan hinggasekarang. Setiap menerima kehangatan seperti itu, saya selalu ingatorang-orang di kampung saya di daerah Pati. Setiap berpapasan denganorang, saya selalu disapa atau menyapa, "Bade tindak pundi, Mas, Bu" (Mau kemana, Mas, Bu?).

Saat belok ke Jalan Commonwealth, saya sudah mulai agak kecapekan. Sayaberhenti lari, dan hanya jalan kaki biasa. Nafas saya masihngos-ngosan, badan saya basah kuyup oleh keringat. Seorang perempuanlari menyalip saya, dan sekonyong-konyong menoleh lalu menyapa, "Hi, are you ok? Wanna run with me?" Tentu saja ajakan untuk lari itu saya tolak, sebab saya baru saja menyelesaikan lari panjang. "No, thank you. I just finished running," jawab saya.

Jalan Commonwealth adalah salah satu kawasan yang juga sangat nyamanuntuk lari, terutama pada bagian yang berada di sepanjang kota Newton.Sejajar dengan jalan ini, ada taman rumput dengan pohon-pohon yangrindang. Di rumput inilah biasanya orang-orang lari. Karena hari ituadalah hari Sabtu, banyak orang yang lari di sepanjang JalanCommonwealth itu.

WAKTU menerima sapaan perempuan itu, saya tak memikirkan apapun. Sayamasih sibuk mengatur nafas saya yang masih sedikit ngos-ngosan. Setelahnafas mulai agak reda, sambil terus berjalan, saya mulai melakukanrefleksi kecil.

Selama ini, kaum Islamis di mana-mana memiliki agenda yang hampirseragam, terutama yang berkaitan dengan tubuh perempuan. Mereka hendakmenegakkan peraturan Islam yang berkenaan dengan pakaian perempuan.Mereka menganjurkan agar perempuan memakai jilbab, kalau bisa malahmenutup seluruh tubuh, termasuk wajah mereka. Saat di Jakarta dulu,saya bahkan kerap menjumpai sejumlah perempuan yang memakai cadar.

Di mata kaum Islamis, tubuh perempuan dipandang sebagai sumberrangsangan bagi syahwat laki-laki. Karena itu, tubuh perempuan harusditutup rapat-rapat agar syhawat laki-laki itu tidak meledak takterkendali. Seorang imam dari Australia membuat heboh April 2007 lalu.Sebagaimana diberitakan oleh koran The Sidney Morning Herald,Sheik Taj el-Din al-Hilaly, nama imam yang berasal dari Mesir itu,mengatakan bahwa seorang perempuan yang memakai pakaian minim sama saja dengan daging yang tak tertutup.

Sindiran imam itu tentu jelas maksudnya: daging yang tak ditutup sudahtentu akan mengundang lalat. Siapa yang dimaksud dengan lalat di sini,tentu anda sudah tahu sendiri. Akibat pernyataan yang kontroversialitu, sang imam dipecat dari jabatannya sebagai mufti oleh AFIC (The Australian Federation of Islamic Councils).

Pandangan imam tersebut sebetulnya sangat khas pada semua kelompokIslam konservatif, dan tidak terbatas pada kelompok Islamis. Dalampandangan ini, tubuh perempuan dianggap sebagai sumber "ketidakstabilansosial", karena dapat merangsang libido laki-laki. Jalan terbaik untukmembendung ancaman ini adalah dengan cara menyungkup tubuh perempuanserapat mungkin.

Oleh karena itu, di mana-mana, saat kaum Islam memenangkan kekuasaanpolitik, langkah pertama yang selalu mereka lakukan adalah memaksaperempuan memakai jilbab, membatasi gerak perempuan di ruang publik,menerapkan segregasi antara perempuan dan laki-laki, dsb. Semua ituberawal dari alasan yang sederhana: tubuh perempuan yang dipandangsebagai --meminjam istilah yang dikenal dalam literatur fikih Islamklasik-- "matsar al-fitnah, sumber munculnya fitnah. Yang dimaksud dengan "fitnah" di sini adalah kekacauan sosial karena syahwat laki-laki yang tak terkontrol.

Dalam "note" yang lalu, saya menganjurkan agar kita, sebagai umatIslam, memakai pendekatan kritis dalam memahami perintah agama.Menggunakan akal sehat adalah bagian dari perintah Islam itu sendirisebagaimana ditunjukkan dalam banyak ayat Quran. Islam menghendaki agarkita menjalankan perintah agama bukan dengan cara "taklid buta",kebiasaan yang menjadi ciri masyarakat jahilyyah pra-Islam yangdikritik oleh Quran. Umat Islam sudah seharusnya menjalankan ajaranagama secara kritis. (Silahkan membaca kembali "note" saya yangberjudul "Menjadi Muslim dengan perspektif liberal" )

Pertanyaan kritis yang bisa diajukan di sini adalah: benarkah tubuh perempuan adalah sumber fitnah dan kekacauan sosial?

Di sini saya ingin kembali kepada "insiden" kecil yang saya alami saatlari di Jalan Commonwealth itu. Di sana, saya melihat banyak perempuanyang lari dengan memakai baju olah raga sebagaimana layaknya dipakaioleh semua orang yang lari: kaos tipis dan celana pendek. Sudah tentutanpa penutup kepala yang sangat tak praktis untuk dipakai saat lari.

Saat orang-orang, terutama kaum laki-laki, melihat perempuan laridengan baju "minim" itu, apakah mereka lalu melakukan tindakan yang taksopan, misalnya melakukan pelecehan seksual atas perempuan itu?Sepanjang pengalaman saya lari selama ini di kota Boston, saya takpernah menjumpai seorang perempuan yang diganggu karena lari denganbaju minim. Tak pernah sekalipun saya melihat seorang laki-lakimengganggu mereka, entah dengan suitan yang menggoda, kata-kata kotor,apalagi pelecehan seksual secara langsung. Semua orang bertindak dengansopan, menghormati hak lain untuk berolah-raga secara wajar.

Dengan kata lain, tak ada kekacauan sosial apapun di sana karena tubuh perempuan yang tak tertutup dengan rapat.

Saya tentu tak melarang seorang perempuan untuk memakai jilbab. Isterisaya memakai jilbab hingga sekarang. Saya menghormati pilihanmasing-masing orang, entah untuk memakai atau tak memakai jilbab. Sayamenentang kebijakan pemerintah Perancis yang melarang murid-muridsekolah negeri untuk memakai jilbab. Di mata saya, kebijakan semacamitu sangat tak masuk akal. Tetapi saya juga menentang kebijakansejumlah peraturan daerah di Indonesia yang memaksa murid-murid sekolahnegeri untuk memakai jilbab, termasuk murid-murid non-Muslimsebagainana berlaku di beberapa daerah di Sumatera Barat.

Yang saya kritik adalah asumsi kalangan Islam fundamentalis yangmenganggap bahwa tubuh perempuan menjadi sumber kekacauan sosialsehingga harus ditutup dengan rapat. Pandangan kaum fundamentalis inimelecehkan kaum laki-laki dan perempuan sekaligus. Mereka beranggapan,seolah-olah laki-laki adalah binatang buas yang begitu melihatperempuan tak menutup seluruh tubuhnya dengan rapat akan menerkam danhendak bercinta dengannya, persis seperti perangai ayam jago yangbegitu melihat ayam betina langsung mengejar dan bersetubuh dengannya "on the spot".

Pandangan ini mengandaikan bahwa laki-laki adalah binatang seks yangseluruh hidupnya dikuasai oleh nafsu birahi. Tanpa disadari oleh kaumfundamentalis sendiri, pandangan mereka ini persis dengan teori SigmundFreud yang selalu menjadi sasaran kritik kaum Islamis selama ini.

Pandangan ini juga sekaligus melecehkan permempuan sebab menempatkanmereka semata-mata ssebagai "tubuh molek" yang selalu menebarkan gairahseksual. Perempuan sama sekali tak dipandang sebagai manusia, sebagaisubyek yang mempunyai martabat.

Yang menarik adalah justifikasi yang dikemuakakn oleh kaumfundamentalis ini: dengan memaksa perempuan memakai jilbab dan menutupseluruh tubuhnya, mereka meng-kleim ingin mengangkat martabatperempuan. Pandangan semacam ini jelas merendahkan kaum perempuan,sebab mengandaikan bahwa seorang perempuan yang tak menutup tubuhnyadengan jilbab bukan perempuan yang terhormat.

Perempuan yang terhormat dan bermartabat, dalam pandangan kaumfundamentalis, hanyalah perempuan yang memakai jilbab. Seorangperempuan yang memiliki pendidikan yang baik serta kemampun yang tinggidalam berbagai bidang pekerjaan, tetap saja dianggap tak terhormat olehkalangan fundamentalis jika tak menutup tubuh mereka dengan jilbab.

Saya ingin mengatakan kepada kaum fundamentalis itu: martabat perempuanditegakkan bukan semata-mata dengan secarik kain yang menutup kepaladan tubuh mereka. Martabat perempuan ditegakkan karena mereka bisamenikmati hak-hak mereka yang wajar sebagai manusia dan warga negara;bisa menikmati kesempatan yang luas untuk aktualisasi diri; mendapatkanpendidikan yang cukup; mendapatkan perlindungan hukum yang memadaisehingga tak rentan terhadap kekerasan dari pihak laki-laki, dsb.

Apa gunanya perempuan dipaksa menutup seluruh tubuhnya, sementarahak-hak mereka sebagai manusia dan warga negara dipreteli satu per satusebagaimana praktek luas yang kita lihat di dunia Islam saat ini?Memaksa perempuan untuk menutup seluruh tubuh seraya membatasi hak-hakmereka sebagai manusia, bukanlah cara yang tepat untuk mengangkatmartabat perempuan. Alih-alih mengangkat martabat mereka, cara sepertiitu justru merendahkan kehormatan mereka sebagai manusia.

Kecurigaan kaum Islam fundamentalis terhadap tubuh perempuan ini kadangbergerak terlalu jauh sehingga mengesankan sebuah "paranoia". Karenamaraknya Islam konservatif di kota-kota besar Indonesia saat ini, sayamulai melihat praktek yang agak janggal, yaitu laki-laki menolakberjabat tangan dengan perempuan yang bukan muhrim(kerabat dekat), seolah-olah perempuan adalah makhluk "najis" yangmenjadi ancaman atas laki-laki sehingga tak boleh dijabat tangannya.

Memang benar, ada sebuah hadis yang menjadi landasan kaum konservatifuntuk melarang laki-laki untuk berjabat tangan dengan perempuan. Sekalilagi, kita sudah seharusnya menjalankan ajaran agama dengan akal sehatyang kritis, bukan "menurut" saja tanpa sebuah alasan yang masuk akal.Taruhlah bahwa Nabi memang benar-benar melarang praktek jabat tangansemacam itu, kita pantas bertanya: Apa sebab-sebab larangan itu, dalamkonteks sosial seperti apa larangan itu muncul, apakah larangan ituberlaku secara universal sepanjang zaman, dsb.?

Kaum Islam fundamentalis biasanya ketakutan atas pertanyaan-pertanyaansemacam ini, sebab mereka khawatir Islam akan hancur jika umat Islammemakai pendekatan kritis dalam memahami agama merekai. Mereka selalumengatakan: jika ajaran agama dipersoalkan dasar-dasar rasionalnya,lalu apa yang tersisa dari agama? Ketakutan semacam ini sekali lagimembenarkan fakta selama ini bahwa kaum fundamentalis memangmenghendaki agar kita menjalankan ajaran agama secara taklid buta saja.

Agama, di mata mereka, harus dilindungi dari bahaya rasio. Menurutmereka, rasio manusia hanya boleh digunakan sebatas membenarkan ajaranyang sudah ada, tetapi tak boleh dipakai untuk menafsirkan ulang ajaranitu. Dengan kata lain, rasio hanya dipakai sebatas untuk menjustifikasi"status quo", bukan mengubahnya.

Islam sebagaimana saya pahami bukanlah agama yang dirundung rasa takutdan was-was terhadap rasio manusia semacam itu. Konon, Nabi sendiripernah membuat sebuah statemen yang menarik, "al-din huwa al-'aql, la dina li man la 'aqla lahu,agama adalah akal; tak ada agama bagi orang yang tak memiliki akal.Seorang Muslim, dalam pandangan fikih klasik, dianggap sebagai subyekmoral yang layak menerima perintah dan larangan agama setelah iamencapai usia akil balig.

Dengan kata lain, seseorang layak menjalankan ajaran agama setelah iamemiliki kemampun intelektual untuk berpikir dengan akal sehat,sehingga keputusannya untuk menjalankan perintah agama bukan karenameniru-niru tradisi yang sudah ada, tetapi karena kesadaran dankeinsafan yang mendalam. Inilah agama Islam yang saya pahami: agamayang tak melawan rasio, tetapi justru menjadikannya sebagai landasanpaling penting dalam menjalankan perintah agama.

TANPA saya sadari, sapaan perempuan yang lari di Jalan Commonwealth itu"merangsang" saya untuk berpikir keras tentang banyak hal yangberkaitan dengan Islam. Pertanyaan-pertanyaan di atas itu terusberkecamuk dalam benak saya, sementara saya terus jalan kaki menyusurijalan pulang ke rumah.

Lari, ternyata, bukan saja menyehatkan saya secara jasmaniah, tetapi juga merangsang rohani saya untuk berpikir.

Ulil Abshar Abdalla