Welcome To My Paradise

Welcome To My Paradise

Kamis, 30 Oktober 2008

Dari Jogja "Ber-ati nyaman" menuju RI 1 untuk perubahan

Tanggal 28 Oktober 2008 kemarin, tepat peringatan 80 tahun Sumpah pemuda. Di hari yang sama, nun di alun-alun Jogjakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono X menggelar Pisowanan Ageng. Dari kata 'Sowan' yang artinya ketemu, Pisowanan Ageng memiliki arti kata "Pertemuan Agung".

Pisowanan Ageng ini mengingatkan saya pada cerita masa ke emasan Majapahit di abad ke 14. Kala tampuk kerajaan di pegang oleh dua Ratu, Sri Gitarja dan Dyah Wiyat, dengan Gajah mada sebagai patih nya. Kala itu dikisahkan, setiap tahun Majapahit menggelar semacam acara pertemuan besar. Dihadiri oleh utusan dari seluruh kerajaan bawahan sebagai tanda takluk pada Majapahit. Pada pertemuan ini, semua utusan melaporkan keadaan di wilayahnya. Segala kemajuan dan kesulitannya. Berharap Sang Ratu Kembar dapat memerintahkan pengiriman bantuan. Pengiriman bahan pangan bagi wilayah yang terkena gagal panen. Pengiriman dukun kesehatan bagi wilayah yang terkena wabah penyakit. Atau setidaknya dapat diberikan kewajiban pengurangan upeti.

Ratusan abad kemudian, gelar pertemuan ini masih terjadi. Tapi konteksnya jelas sudah beda. Di abad 21 ini Pisowanan Ageng hanya menjadi ajang Pak Sultan bertemu rakyatnya.





Kala kecil dulu, meski samar-samar saya masih ingat, Yangti (nenek saya yang tinggal di Jogja) pernah bercerita. Suatu ketika, di sebuah acara -mungkin pisowanan Ageng- tetangganya pernah datang menemui Alm Sri Sultan Hamengkubuwono ke IX (ayah dari pak Sultan X). Di belakang panggung sang tetangga mencegat Rajanya dan memohon bisa menurunkan hujan, agar sawahnya tak jadi gagal panen akibat kemarau panjang. Menurut si tetangga, kala itu sang Raja hanya tersenyum dan menyuruhnya pulang. Dua hari kemudian, hujan turun deras, dan sawahnya berhasil panen. Boleh percaya boleh tidak. Tapi Nenek saya percaya betul kalau Raja nya begitu memiliki kemampuan lebih.

Pertama kali mendengar cerita itu, saya begitu takjub. Kini setelah besar, saya berpikir, kok nggak rasional sekali ya cerita itu. Ah jawa, kadang eksotik tapi juga penuh klenik. Setengah darah saya mengalir darah Jogja. Meski saya belum tercerabut dari akarnya, tapi saya Lahir dan besar di Jakarta, bersama Prambors dan majalah Hai. Di banding cerita Yangti, tentu saya lebih percaya Google dan rock and roll.

“Djawa adalah kontji” begitu kata Aidit di film G30S/PKI. Ini memang SARA, Tapi kita gak bisa menafikan fakta dan riset. Sejak ribuan tahun silam Jawa memang motor dari kebudayaan dan kemajuan nusantara. Karakter dan tipologi pulau Jawa lebih mendukung penghuninya menggapai pencapaian lebih maju dibanding manusia di pulau yang lain di Nusantara. Seperti yang termaktub dalam buku “Nusantara : A History of Indonesia” karya Bernad HM Vlekke. Namun demikian, nggak baik juga kalo ‘Jawa’ di stigma-kan sehingga menjadi alasan penghalang untuk maju.

Kalau ditarik lebih ke belakang, Keraton Jogja telah banyak mendukung perjuangan pergerakan kemerdekaan, di banding Keraton Solo yang cenderung apatis dengan perjuangan politik bangsa. Keraton Jogja berani menolak bekerja sama -atau setidaknya berseberangan jalan- dengan Belanda dan Jepang. Mungkin ini yang membuat para Sultan Jogja lebih berkarisma di mata ‘rakyat’nya. Seperti kaum Nahdliyyin terhadap Gusdur.

Tahun 1998 silam, Kala Reformasi merebak, ada 4 nama yg sibuk berembug di Ciganjur. Mereka adalah GusDur, Megawati, Amien Rais, dan Pak Sultan HB X. Selepas 1998, salah satunya sempat menjadi Ketua MPR, sementara dua lainnya sempat menjadi Presiden RI. Tapi Pak Sultan selalu setia 'duduk' di Jogja.

Saya pikir, kesultanan Jogja tidak hanya simbol Monarkhi dan sejarah. Kesultanan Jogja juga telah berkontribusi bagi terciptanya Kemerdekaan dan Reformasi Bangsa ini. Setiap Sultan Jogja menciptakan Kiprahnya masing-masing. Almarhum HB IX ikut pergerakan kemerdekaan. Pak Sultan HB X turut serta dalam reformasi.

Reformasi kini berumur 10 tahun. Telah dua kali Pemilu Pak Sultan di gadang-gadang menjadi capres. Mungkin ini saatnya Pak Sultan muncul kembali ke Jakarta. Di Pisowanan Ageng kemarin, Pak Sultan mendeklarasikan maju menjadi bakal Capres. Namun perjuangan masih panjang dan berat. Saat ini tak cukup dengan dukungan rakyat saja. Pak Sultan harus mampu menggandeng Parpol besar demi perolehan 25 % suara Legislatif.





Dilihat dari banyaknya dukungan di Pisowanan Ageng, juga pengalaman Pak Sultan memimpin Jogja, saya kira itu sudah modal awal. Selama kepemimpinan Pak Sultan betapa Jogja yang plural masyarakatnya mampu hidup harmonis dan “Ber Ati Nyaman” -seperti slogan DIY. Bila Pak Sultan berhasil di Pemilu nanti, tentunya dia dapat menularkan slogan tersebut sehingga Indonesia ber-ati Nyaman.

Tidak ada yg hitam putih di dunia ini. Di banding Bakal Capres yang lain, track record Pak Sultan termasuk cukup baik. Anti poligami, open mind, dan berbhineka tunggal ika. Saya percaya setiap warga negara berhak mencalonkan diri-sesuai UU yang berlaku. Makin banyak pilihan capres makin bagus buat kita memilih.
Ah .. sok tau sekali ya saya ini hehehe...

~Mayang

Tidak ada komentar: