Welcome To My Paradise

Welcome To My Paradise

Kamis, 19 Juni 2008

Surat untuk para "Girls Nite Out" Utankayu

Kedai jamu "Bukti mentjos" namanya. Di Seberang UI Salemba, ada cafe corner, nah itu ada jalan masuk namanya Jl salemba tengah. Lurus aja, sampe di pertigaan. Mentjos ada di sebelah kanan. Dari jalan salemba raya sekitar 100 meter (dekat dongs).



Kalo mau makan bubur ayam, mesti telpon dulu, biar di sisain. Karena biasanya jam 19 udah abis. Selain dubur ayam, ada menu lainnya. al: dubur kacang ijo, kolak, sekoteng, wedang jahe, beras kencur, kunyit asem, sampe segala macem ramuan jamu.

Saya tau tempat itu dari temen kantor. Suasananya seru abis.
Itu tempat berdiri sejak jaman kemerdekaan. Di dindingnya banyak memorabilia dan foto-foto jadul b/w dengan para perempuannya masih berkonde berkebaya, anak-anaknya masih bertelanjang kaki, para lelakinya bersisir klimis berbelah pinggir.

Ada beberapa tabel (lebih tepatnya beberapa meja kecil dengan kursi), Ada minibar yang melingkar. Kalo saya sih lebih senang duduk di kursi yang melingkari minibar. Lebih seru. Kita bisa lihat kesibukan mengolah jamu sambil ngobrol dengan para mba-mba berbatiknya. Kita bisa lihat para pengunjungnya. Dari ibu-ibu bersasak tinggi dengan diantar supir, sampe mahasiswa. Dari eksekutif tua sampai ekslusif muda. Dari yang sakit gigi sampe yang hamil tua. Dari yang brondong sampe yang kakek-kakek. Dari yang kalem sampe anak kecil yang cerewet banyak tanya sembari digandeng ortunya juga ada. Konsumen jamu datang silih berganti.


Ada satu lelaki tua (mungkin itu sinse nya), yang siap menjawab keluhan setiap pengunjung. Usai tahap konsultasi, sang sinse meracik bubuk jamu yang sesuai dng permintaan. Bapak yang membawa anaknya yang cerewet itu juga tanya ke sinse "Ada nggak jamu yg bisa bikin anak nurut sama ortunya?" hehe bapak itu pasti bercanda...

Pertama kali saya datang kesana bertiga dengan teman kantor TII. Kita duduk di pojok. Di Mentjos ada selebaran kertas berisi daftar nomor jamu. Membaca itu kita cekikikan dan saling menuduhkan nomor jamu ke temans. "Elo tuh cocok minum nomor 28A".



Temen saya menjawab "Enak aja, elo tuh nomor 35".. trus kita cekikikan lagi.



Trus temen saya yang satu lagi lebih serius tanya "Emang kalo minum nomor 40 bisa kayak apa?" haha hehe kekke mmppff.. kita menahan tawa bareng-bareng. Tau dongs gimana susahnya menahan tawa. Untungnya saya masih tahan kendali.. Saya bilang " sst.. sst.. jangan berisik.. malu tau..."
Beberapa mba berbatik itu tersenyum penuh arti melihat kita saling menuding dan menyebut nomor-nomor jamu.

Ternyata sodara-sodara, mba-mba itu hafal 100-an nomor jamu itu. Saya kan coba ngetes, "Mba nomor 28A jamu apa? nomor 45 jamu apa? nomor 7 jamu apa?", dia menjawab dengan nyantei, "Oh itu untuk membesarkan payudara.. oh itu untuk sari rapet.. oh itu untuk hubungan suami istri biar makin mantep .. oh itu untuk kekuatan lelaki… oh itu untuk susah b***k (ups sorry sensor, maksudnya mba itu mungkin susah BAB).

Lalu satu teman saya terlihat serius, dia trus manggil pak sinsenya. Ah pak sinsenya belum juga ditanya udah menjawab "kenapa? mau tanya soal ini yah..? "
"Lho kok tau?
"iya kalian di pojok rame sekali.." gitu katanya...

Saya udah pernah ajak Andy kesana. Awalnya saya bilang, ada bubur ayam enak di salemba tengah. Bila saya bilang kita ke kedai jamu, pasti doski gak mau. Apalagi dari jalan, kedai itu terlihat gelap. Sampai di depan Mentjos, Andy sempat tanya, "Ini tempat apa? kok nggak kayak jual bubur ayam?" Buru-buru saya minta supir taksi masuk ke dalam parkiran, sebelum si om komplain lebih lanjut.

Namun pas udah masuk, duduk, mengenali suasananya, Andy malah menunjuk nomor jamu ke saya, "kamu minum nomor 35 nih.." gitu sambil senyum.. idih sama aja kelakuannya sama temen kantor saya... hehe...

Gitu deh. Pokoknya itu tempat seru banget..
Girls, mari kita ke Mentjos.
Untuk vivi, mumpung si teguh lagi diluar kota, kita ke Mentjos aja.
Kala nanti si teguh pulang, elo makin tjos.. hehee...

Indonesia

Indonesia

Di luar sel kantor Kepolisian Daerah Jakarta Raya itu sebuah statemen dimaklumkan pada pertengahan Juni yang panas: “SBY Pengecut!”

Yang membacakannya Abu Bakar Ba’asyir, disebut sebagai “Amir” Majelis Mujahidin Indonesia,
yang pernah dihukum karena terlibat aksi terorisme. Yang bikin statemen Rizieq Shihab, Ketua Front Pembela Islam, yang sedang dalam tahanan polisi dan hari itu dikunjungi sang Amir.
Dari kejadian itu jelas: mencerca Presiden dapat dilakukan dengan gampang. Suara itu tak membuat kedua orang itu ditangkap, dijebloskan ke dalam sel pengap, atau dipancung.

Sebab ini bukan Arab Saudi, wahai Saudara Shihab dan Ba’asyir! Ini bukan Turki abad ke-17, bukan pula Jawa zaman Amangkurat! Ini Indonesia tahun 2007.
Di tanah air ini, seperti Saudara alami sendiri, seorang tahanan boleh dikunjungi ramai-ramai, dipotret, didampingi pembela, tak dianggap bersalah sebelum hakim tertinggi memutuskan, dapat kesempatan membuat maklumat, bahkan mengecam Kepala Negara.
Di negeri ini proses keadilan secara formal dilakukan dengan hati-hati--karena para polisi, jaksa, dan hakim diharuskan berendah hati dan beradab. Berendah hati: mereka secara bersama atau masing-masing tak boleh meletakkan diri sebagai yang mahatahu dan mahaadil. Beradab: karena dengan kerendahan hati itu, orang yang tertuduh tetap diakui haknya untuk membela diri; ia bukan hewan untuk korban.

Keadilan adalah hal yang mulia, Saudara Shihab dan Ba’asyir, sebab itu pelik. Ia tak bisa digampangkan. Ia tak bisa diserahkan mutlak kepada hakim, jaksa, polisi--juga tak bisa digantungkan kepada kadi, majelis ulama, Ketua FPI, atau amir yang mana pun. Keadilan yang sebenarnya tak di tangan manusia.

Itulah yang tersirat dalam iman. Kita percaya kepada Tuhan: kita percaya kepada yang tak alang kepalang jauhnya di atas kita. Ia Yang Maha Sempurna yang kita ingin dekati tapi tak dapat kita capai dan samai. Dengan kata lain, iman adalah kerinduan yang mengakui keterbatasan diri. Iman membentuk, dan dibentuk, sebuah etika kedaifan.
Di negeri dengan 220 juta orang ini, dengan perbedaan yang tak tepermanai di 17 ribu pulau ini, tak ada sikap yang lebih tepat ketimbang bertolak dari kesadaran bahwa kita daif. Kemampuan kita untuk membuat 220 juta orang tanpa konflik sangat terbatas. Maka amat penting untuk punya cara terbaik mengelola sengketa.

Harus diakui (dan pengakuan ini penting), tak jarang kita gagal. Saya baca sebuah siaran pers yang beredar pada Jumat kemarin, yang disusun oleh orang-orang Indonesia yang prihatin: ”… ternyata, sejarah Indonesia tidak bebas dari konflik dengan kekerasan. Sejarah kita menyaksikan pemberontakan Darul Islam sejak Indonesia berdiri sampai dengan pertengahan 1960-an. Sejarah kita menanggungkan pembantaian 1965, kekerasan Mei 1998, konflik antargolongan di Poso dan Maluku, tindakan bersenjata di Aceh dan Papua, sampai dengan pembunuhan atas pejuang hak asasi manusia, Munir.”

Ingatkah, Saudara Ba’asyir dan Saudara Shihab, semua itu? Ingatkah Saudara berapa besar korban yang jatuh dan kerusakan yang berlanjut karena kita menyelesaikan sengketa dengan benci, kekerasan, dan sikap memandang diri paling benar? Saudara berdua orang Indonesia, seperti saya. Saya mengimbau agar Saudara juga memahami Indonesia kita: sebuah rahmat yang disebut “bhineka-tunggal- ika”. Saya mengimbau agar Saudara juga merawat rahmat itu.Merawat sebuah keanekaragaman yang tak tepermanai sama halnya dengan meniscayakan sebuah sistem yang selalu terbuka bagi tiap usaha yang berbeda untuk memperbaiki keadaan. Indonesia yang rumit ini tak mungkin berilusi ada sebuah sistem yang sempurna. Sistem yang merasa diri sempurna--dengan mengklaim diri sebagai buatan Tuhan--akan tertutup bagi koreksi, sementara kita tahu, di Indonesia kita tak hidup di surga yang tak perlu dikoreksi.
Itulah yang menyebabkan demokrasi penting dan Pancasila dirumuskan.
Demokrasi mengakui kedaifan manusia tapi juga hak-hak asasinya--dan itulah yang membuat Saudara tak dipancung karena mengecam Kepala Negara.
Dan Pancasila, Saudara, yang bukan wahyu dari langit, adalah buah sejarah dan geografi tanah air ini--di mana perbedaan diakui, karena kebhinekaan itu takdir kita, tapi di mana kerja bersama diperlukan.

Pada 1 Juni 1945, Bung Karno memakai istilah yang dipetik dari tradisi lokal, “gotong-royong”.

Kata itu kini telah terlalu sering dipakai dan disalahgunakan, tapi sebenarnya ada yang menarik yang dikatakan Bung Karno: “gotong-royong” itu “paham yang dinamis,” lebih dinamis ketimbang “kekeluargaan” .

Artinya, “gotong-royong” mengandung kemungkinan berubah-ubah cara dan prosesnya, dan pesertanya tak harus tetap dari mereka yang satu ikatan primordial, ikatan “kekeluargaan” . Sebab, ada tujuan yang universal, yang bisa mengimbau hati dan pikiran siapa saja--“yang kaya dan yang tidak kaya,” kata Bung Karno, “yang Islam dan yang Kristen”, “yang bukan Indonesia tulen dengan yang peranakan yang menjadi bangsa Indonesia.”
“Gotong-royong” itu juga berangkat dari kerendahan hati dan sikap beradab, sebagaimana halnya demokrasi. Itu sebabnya, bahkan dengan membawa nama Tuhan--atau justru karena membawa nama Tuhan--siapa pun, juga Saudara Ba’asyir dan Saudara Shihab, tak boleh mengutamakan yang disebut Bung Karno sebagai “egoisme-agama.”

Bung Karno tak selamanya benar. Tapi tanpa Bung Karno pun kita tahu, tanah air ini akan jadi tempat yang mengerikan jika “egoisme” itu dikobarkan. Pesan 1 Juni 1945 itu patut didengarkan kembali: “Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara leluasa.”

Dengan begitulah Indonesia punya arti bagi sesama, Saudara Shihab dan Ba’asyir. Ataukah bagi Saudara ia tak punya arti apa-apa?


Goenawan Mohamad

Rabu, 11 Juni 2008

Atas Nama Agama

Belakangan ini banyak kejadian menyedihkan yang dialami bangsa ini. Sebenarnya ancaman terhadap kebebasan berpikir dan berexpresi di negeri ini sudah lama terjadi. Kian hari kian mengerikan dan sangat tak masuk akal sehat. Saat ini mungkin merupakan titik kulminasi dari semua ancaman tersebut. Mereka, sekelompok orang yang mengatas namakan agama, merasa diri paling benar dan merasa berhak untuk menghakimi orang lain. Saya bicara soal FPI, MUI, FUI. Saya tak habis pikir, Apa yang ada di otak mereka ketika mereka merasa berhak menghakimi, mengadili, menzalimi dan menyakiti orang yang berbeda dengan mereka? Cuma Tuhan yang memiliki hak prerogative untuk melakukan itu. Berarti mereka telah mengambil hak prerogative itu dari Tuhan. Berarti mereka berlaku bagaikan Tuhan.

Ketika pandangan sempit sekelompok orang yang mengatakan dirinya lah yang benar, lalu seseorang dilukai, dibakar rumahnya, di cerabut dari lingkungannya, kehilangan pekerjaan, tidak bisa sekolah lagi, dan trauma berkepanjangan, Agama mana yang bisa membenarkan ini ? Tidak ada satu alasan pun –alasan menurut agama apapun- yang bisa membenarkan perlakuan keji tersebut. Bukankah Tuhan itu maha kasih?

Jikalau Ahmadiyah itu beda, selama tidak merugikan orang lain ya biarkan saja. Biarkan masing-masing orang berbeda asal tidak mencuri hak orang lain. Toh kalo mereka berdosa dan masuk neraka, mereka sendiri yang masuk neraka. Biarkan Tuhan yang menghakimi di hari terakhir nanti. Lagipula siapa yang tau nantinya ada neraka atau surga? Cuma orang yang sudah mati yang tau keberadaan itu, yang tau mana kebenaran itu. Selama manusia masih hidup, semua masih dalam pencarian.

Bukankah ini Negara Demokrasi? Sejatinya, Demokrasi itu bukanlah suara terbanyak. Tapi Demokrasi adalah bagaimana kaum minoritas bisa tetap eksis. Bila demokrasi di artikan dengan voting terbanyak, dominasi kaum mayoritas, itu bukanlah Demokrasi, tapi Diktator, Tirani, Penjajahan.

Senin 4 Juni 2008 yang lalu, saya dengar Pernyataan Buya Syafii Maarif dalam wawancara telepon dengan salah satu radio swasta di Jakarta. Begini pernyataannya:
"Aparat jangan membiarkan kekerasan FPI terus berlabuh. SBY dan JK harus kompak. Kekuatan-kekuatan akal sehat di negeri ini harus berkumpul, untuk meminta pemerintah membubarkan FPI demi martabat bangsa. Demi Pancasila dan UUD. Ini Negara hukum. Di muka bumi ini orang yang tidak beragama pun juga harus di lindungi, karena mereka juga warga Negara.."
Saya setuju banget dengan pernyataan itu.


Tak lama, si endut, partner saya tersayang, menuliskan sekelumit nasib pancasila ke depan nanti, dalam blog kantornya. Ini saya copy pastekan…

29/05/2008 12:46
Religius Demokrat

Adakah tempat bagi Pancasila di tengah-tengah kebangkitan agama?
Beberapa tahun terakhir, kita menyaksikan kebangkitan kembali agama. Sesuatu yang tak pernah diprediksi sebelumnya. Pada April 1966, majalah TIME menurunkan laporan utama Is God Dead? Pada awal milenium ini, The Economist dengan percaya diri menulis obituari tentang Tuhan. Tapi, peristiwa 11/9 mengubah itu semua!
Kini, kita menyaksikan dunia yang sedang berubah. Inilah masa, ketika agama menjadi semakin penting bagi kehidupan banyak orang. Religion strikes back. Lihatlah Nigeria yang kini terbelah antara utara yang Islam dengan selatan yang Kristen. Pantekosta berkembang pesat di Korea Selatan dan Brazil. Negeri Balkan terpecah antara Bosnia dan Kosovo yang Islam dengan Serbia yang menganut Orthodoks dan Kroasia yang Katolik. Partai berbasis Islam AKP kini berkuasa di negeri sekuler Turki. Pendeta Budha di Burma bangkit melawan rejim militer. Di negeri gajah putih, para Biksu menuntut pemerintah menempatkan Buddhisme sebagai agama resmi negara.

Kebangkitan serupa juga terjadi di Indonesia. Gereja-gereja di mal, kini dipenuhi para jemaat. Mesjid-mesjid makin lantang melantunkan azan dan ceramah. Organisasi massa dan partai berbasis agama tumbuh subur memanfaatkan ruang demokrasi.
Adakah tempat bagi Pancasila di tengah masyarakat yang sedang berubah ini?
Pada 1 Juni kita memperingati hari lahir Pancasila. Dulu, Soekarno menawarkan Pancasila sebagai kontrak sosial, untuk mengikat seluruh kelompok yang mendukung perjuangan. Sila pertama adalah upaya merangkul kelompok agama. Kemanusiaan yang adil dan beradab dipakai untuk mengikat kaum humanis. Persatuan Indonesia ditujukan bagi para nasionalis. Kaum demokrat diakomodasi lewat sila keempat. Sementara kelompok sosialis diberi kompensasi sila kelima.

Setelah 63 tahun kelahirannya, Pancasila menghadapi tantangan baru. Kita melihat kecenderungan menguatnya politik identitas seiring kebangkitan agama. Kini mulai muncul suara yang menginginkan agar negara diatur berdasarkan agama. Di tingkat pusat, sejumlah fraksi di parlemen sempat mengusulkan agar tujuh kata dalam Piagam Jakarta diakomodasi ke dalam konstitusi. Sementara di daerah, bermunculan peraturan bernuansa syariah. Inilah fenomena yang disebut sebagai creeping syariatism, atau syariatisasi yang merayap ke puncak kekuasaan. Pertanyaan berikutnya, seberapa besar dukungan terhadap ide ini?
Riset Lembaga Survei Indonesia menunjukkan, dukungan publik kepada Pancasila sebenarnya masih sangat besar. Sebanyak 83% masyarakat menganggap Pancasila dan Undang-Undang Dasar masih cocok bagi Indonesia. Bandingkan dengan 5,3% suara yang menganggap Pancasila dan Undang-Undang Dasar kurang cocok dan harus diganti. Artinya dari kurang lebih 150 juta populasi masyarakat dewasa, sekitar 124,5 juta mendukung Pancasila. Sebaliknya yang tidak menginginkan hanya sekitar 7,95 juta orang. Secara sederhana, penelitian ini menunjukkan bahwa kesadaran konstitusional masyarakat kita masih sangat tinggi.
Penelitian Saiful Mujani dan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat PPIM (2001), menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia memang semakin religius. Tapi di sisi lain, penerimaan terhadap nilai-nilai demokrasi juga besar. Temuan ini, seolah mematahkan klaim Samuel P. Huntington yang menganggap kesalehan berbanding terbalik dengan sikap demokratis.

Semangat keimanan umat Islam di Indonesia diterjemahkan ke dalam kegiatan kolektif, antara lain dengan berpartisipasi dalam organisasi keagamaan seperti NU, Muhammadiyah, atau Majelis Taklim. Tanpa sengaja, aktifitas sosial ini membuat mereka menjadi lebih terbuka dan terbiasa melihat keberagaman. Dalam istilah anak muda, orang yang lebih gaul, akan lebih terbuka melihat perbedaan. Inilah generasi baru yang disebut sebagai kaum religius demokrat. Pada merekalah, masa depan Pancasila dan keberagaman kita akan dipertaruhkan. Selamat Hari Pancasila.

Andy Budiman
Asisten Produser Program "Topik Minggu Ini"

Inilah salah satu hal yang bikin saya makin suwayang sama dia. Klop banget dah dengan pemikiran dia :)


Rabu 11 Juni 2008