Welcome To My Paradise
Kamis, 23 November 2017
Kenapa Politik Afirmasi di Undang-Undang Pemilu Perlu?
Menjadi Pahlawan dengan Berkarya. Milenial yang Mengubah Dunia
Toleransi
Pemuda Indonesia di tahun 1928 sudah membuat ikrar tentang ini. Maka, selemah-lemahnya iman, para milenial harus mampu menerima estafet ini. Menjaga persatuan Indonesia ini.
Antikorupsi
Tantangan Saat Ini: Apa Kontribusi Anak Zaman Now?
Untuk itu, kita perlu menelaah konsep kapitalisme kreatif. Teori ini digagas oleh Bill Gate, pemilik Microsoft. Bill Gates melihat ketimpangan ekonomi juga akan berpengaruh buruk pada pelebaran bisnis.
Bill Gate melihat masih ada kelaparan dan gizi buruk di Afrika. Masih ada angka buta huruf dan demokasi yang mati di Asia. Bila demikian, Microsoft tentu tidak bisa melebarkan bisnisnya ke Afrika dan Asia. Bagaimana mungkin menjual produknya ke Afrika dan Asia kalau masyarakat di sana tidak bisa membaca bahkan belum selesai dengan kebutuhan dasar, yaitu sandang-pangan-papan?
Ketimpangan sosial-ekonomi tidak hanya merugikan para kaum marjinal, tapi juga akan membatasi pasar kapitalis. Membantu mereka yang tidak mampu akan membuka peluang pelebaran pasar. Maka, menurut Bill Gates, ada 2 hal yang harus dilakukan secara paralel, yaitu melipatgandakan keuntungan sekaligus memperbaiki taraf hidup kaum marjinal. Itu inti dari kapitalisme kreatif.
Untuk menjalani inti dari kapitalisme kreatif ini, perlu kerja sama seluruh stakeholder, dari swasta, pemerintah, hingga lembaga swadaya masyarakat. Perlu ada program-program kerja sosial yang dilakukan secara bersama oleh 3 stakeholder ini. Bill Gates mencontohkan, selama 20 tahun terakhir, Microsoft telah mendonasi 3 miliar dolar Amerika untuk mendukung misi ini.
Makalah ini sebelumnya disampaikan pada acara Diskusi Peringatan Sumpah Pemuda dan Hari Pahlawan 2017 di Universitas Trisakti, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Jumat 10 November 2017.
- Time Magazine, 13 November 2017
- Schmandt, Henry J., Filsafat Politik, Kajian Historis dari Zaman Yunani Kuno sampai Zaman Modern, Pustaka Pelajar, 2015.
- Harvardmagazine.com, Bill Gates on “Creative Capitalism“, 13 Oktober 2008
- https://www.fpsct.org/uploaded/faculty/johnsonc/U_S_History/Unit_5/Gospel_and_Gates.pdf
Kamis, 05 Februari 2009
Kiprah Lucu Para Partai dan Caleg nya.
Sempat tidak sempat, harus sempat buka facebook hehehe… Mumpung belum di fatwa haramkan sama MUI. (Emang ngaruh gitu sama fatwa MUI? Ya enggaklah. Enak aja)
Mata saya terantuk pada satu tagline kawan di Facebook. Tag itu membikin saya tersenyum. Begini tulisannya: "Permadi masuk Gerindra: "Di makam Bung Karno itu, Prabowo melamar aku. Dia itu Sukarno Kecil, lhoo!" Oyaaa???
Menurut temen saya, Permadi seriues bilang begitu. Mungkin permadi lagi mabok kemenyan. Hahhaaha… Siapa nggak kenal kiprah Permadi. Sejak dulu, anggota dewan yang satu itu emang serba klenik banget. Ada indikasi, Permadi enggak disukai sama TK lagi, trus mendekat ke Gerindra. Apapun itu, mbok ya pragmatis sedikit. Masa Permadi bilang Prabowo seperti Sukarno Kecil. Trus masa di lamar nya di kuburan sih. Umumnya orang kalo me-lobby ya di café, atau di restoran, atau di mana kek. Ini kok di bukuran. Serem amat.
Tak berapa lama, temen saya itu, mengubah tag nya lagi menjadi " Satu iklan, dua telinga. 1) "Gerindra, Gerindaah, negriindah, negeri indaaah .. 2) "Gerindra, Gerindraah, Ngerindraah, Ngeriiii Daah, Ngeriiii!"
Contohnya gambar yang saya temukan di sini
Masih ada yang lucu lagi nih. Berita bisa di klik di disini :
Di antara lucu lucu yang katrok itu, untungnya masih ada lucu yang kreatif. Ini blog wartawan muda yang kritis dan kreatif. Gosippemilu namanya.
Mereka bikin kaos yang mampu bikin kita tersenyum.
Selasa, 27 Januari 2009
Dari Kunstkring ke Buddha Bar
Gedung bekas kantor imigrasi di pojokan Jalan Cut Nyak Dien dan Jalan Teuku Umar, Menteng Jakarta Pusat ini akan dijadikan Buddha Bar, sebuah konsep restoran yang dibawa oleh Raymond Visan dari Perancis.
Sabtu, 22 November 2008 | 15:59 WIB
Dastin Hillery, Suci Mayang Sari, dan Agus Surja Sadana, tercatat sebagai tiga pemenang sayembara konsep penggunaan dan pengelolaan bangunan cagar budaya, dalam hal ini gedung eks Imigrasi atau gedung Kunstkring di pojokan Jalan Cut Nyak Dien dan Jalan Teuku Umar. Itu tahun 2003. Kini nama itu barangkali sudah terlupakan atau dilupakan.
Dastin, juara pertama, mengusulkan gedung digunakan sebagai perikatan seni
Mayang Sari, juara kedua, mengusulkan gedung digunakan komunitas seni arsitektur
Setelah sempat terbengkalai, kini gedung rancangan PAJ Moojen itu siap berdegup kembali. Gedung itu akan menjadi Buddha Bar, sebuah konsep restoran yang dibawa oleh Raymond Visan dari Perancis. Pengelolaan dipegang PT Nireta Vista Creative (PT NVC) selama
Tentu saja, Pemprov DKI masih menjadi pemilik sah gedung itu. Menurut Setia Gunawan, Kasubdis Pelayanan Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI, pengelola menyewa gedung itu selama lima tahun dengan nilai sekitar Rp 4 miliar atau Rp 800 juta/tahun.
Selain Buddha Bar, pengelola menyediakan sedikit lahan untuk pameran lukisan. Galeri itu ada di lantai bawah bagian depan. Sisanya, untuk restoran dan lounge. Gubernur DKI Fauzi Bowo berencana membuka tempat baru itu pada 28 November 2008 mendatang.
Apresiasi seni
Dalam buku Menteng, Kota Taman Pertama di Indonesia karangan Adolf Heuken, gedung dengan dua menara tersebut merupakan awal sejarah arsitektur
Gedung dibangun tahun 1913, setelah pada tahun 1912 NV De Bouwpleg menyumbangkan sebidang tanah. Dalam buku itu juga disebutkan, selama sepuluh tahun uang sewa restoran Stam en Weyns, yang menggunakan lantai bawah gedung, dipakai untuk melunasi pinjaman.
Di tempat ini diadakan pameran lukisan, pertunjukan musik, dan ceramah. Tak ketinggalan perpustakaan berisi buku tentang kesenian juga tersedia. Tahun 1936 dibuka museum berisi lukisan karya van Gogh dan Picasso, yang dipinjam dari museum di Eropa. Tak ketinggalan pameran lukisan tentang Oud Batavia digelar di sini.
Dari catatan Warta Kota, tahun 1993 bekas gedung Imigrasi yang saat itu dihargai Rp 9 miliar ini ditukar guling (ruilslag) dengan gedung kepunyaan PT Mandala Griya Cipta (MGC) milik Tommy Soeharto. Sebagai gantinya, Departemen Kehakiman diberi kantor baru di Kemayoran.
Namun kemudian pada sekitar tahun 1999, kondisi bangunan yang dilindungi dan berklasifikasi A ini berantakan. Kusen, daun pintu dan jendela lenyap. Pagar seng menutupi sekeliling bangunan. Tahun 2002, Pemprov DKI membeli gedung ini kembali. Setahun kemudian diadakan sayembara dan kemudian pemugaran dimulai.
Sumber: http://www.kompas.com/read/xml/2008/11/22/15594176/dari.kunstkring.ke.buddha
From Kunstkring to Buddha Bar - by Pradaningrum Mijarto
This Ex-Immigration building at the corner of Cut Nyak Dien street and Teuku Umar street, Menteng, Central Jakarta, will become Buddha Bar, a concept of restaurant which is brought by Raymond Visan from France.
Dastin Hillery, Suci Mayang Sari, and Agus Surja Sadana, noted as the top three winner of the contest of the usage and management of heritage building concept, in this case the ex-immigration building or known as Kunstkring Building at the corner of Cut Nyak Dien street and Teuku Umar street. That was year 2003. Now that name maybe has forgotten.
Dastin, the first winner, suggest to use the building as a Jakarta art union, suit as its function at the past. The ground floor of this 2 floors building was suggested to use as a main showroom. While the 2nd floor was suggested to use as a public lecture room, talk show, discussion forum, including art book and architecture store.
Mayang Sari, the second winner, suggest to use the building as a Jakarta architecture art community. While Agus Sadana, the third winner, suggest to use the building as a past nuance restaurant.
After neglected for some time, now the building designed by PAJ Moojen ready to beating again. It will become Buddha Bar, a restaurant concept which is brought by Raymond Visan from France. This bar will manage by PT Nireta Vista Creative (PT NVC) for 5 years. This is the first time for a heritage building restored and re-function under management from private party.
The owner of this building is still Jakarta Government of course. Setia Gunawan, Kasubdis (Head of sub-agency) of Official Jakarta Culture & Museum Service said the rent price is about Rp 4 billion for 5 years or Rp 800 million/year.
Besides Buddha Bar, management kept some space for picture gallery which is on the first floor in the front area. The rest is for restaurant and lounge. Governor of Jakarta, Fauzi Bowo, scheduled to officially open the new place at November 28, 2008.
Art Appreciation
In the book Menteng, Kota Taman Pertama di Indonesia by Adolf Heuken, the 2 tower building is a form of the beginning of Indonesia architecture history. Originally the building owned by Nederlandsch Indische Kunstkring (Nederland Art Circle / Lingkar Seni Hindia Belanda), a club that rise Batavia people's appreciation to the art.
The building was built in 1913, after NV De Bouwpleg donated a piece of land in 1912. It was said in that book that for a decade rent money from Stam en Weyns restaurant, which was using the first floor, used to paid off the debt.
This place was held to painting exhibition, music concert, and lecture. There was also a library filled with books about art. A museum containing art works from Van Gogh and Picasso, borrowed from Europe museums, was opened here in 1936. Also a picture exhibition about Oud Batavia was held here.
From Warta Kota's record, in 1993, this ex-Immigration building, that was priced Rp 9 billion at that time, was exchanged (ruilslag) with a PT Mandala Griya Cipta (MGC) building owned by Tommy Soeharto. As a compensation, a new office at Kemayoran was given to Justice Department.
Later at about 1999, the condition of this law protected and A-classification building was very messy and poor. Windows, doors, frames were disappeared. Iron-sheeting fence covered around the building. In year 2002, Jakarta government bought back this building. A year later a contest was held and a restoration was beginning.
Senin, 26 Januari 2009
Sering Terjadi "Kasus Jatuh di Tempat Biasa" di Sarinah
Bagi orang-orang yang baru pertama kali memasuki daerah itu, tentunya tidak akan menyadari bila persis di bawah ambang pintu, ada beda tinggi lantai. Menurut cara mendesain bangunan yang benar, bila memang ada beda tinggi lantai, seharusnya di depan pintu di beri bordes dulu. Jangan langsung turun begitu rupa.
Sambil mendorong pintu, dengan yakinnya saya melangkah tanpa menyadari adanya turunan. Walhasil kaki kanan saya terpleset dan terplintir, sementara kaki kiri saya masih melayang melangkah belum menapak lantai. Badan saya limbung dan jatuh kedepan. Saya sempat syok dan hampir pingsan. Butuh waktu agak lama bagi saya untuk menyadari apa yang terjadi. Orang-orang yang kebetulan berada di sekitar membantu saya menuju klinik yang tidak jauh dari sana. Dari orang-orang tersebut saya mendengar, kasus semacam saya sudah sering terjadi. Bahkan ketika orang-orang membawa saya ke klinik, tanpa memberi penjelasan, sang dokter langsung bisa menerka, “Jatuh di tempat biasa? di pintu dekat lift?”. Ternyata kasus ini sudah sering pula di temui oleh sang dokter.
Kedua lutut dan pergelangan kaki kanan saya cedera. Saat itu saya masih bisa berjalan. Klinik memberikan balsam pada cedera saya. Saya kembali ke kantor untuk bekerja. Namun makin lama pergelangan kaki saya makin sakit dan membengkak sebesar bola tenis. Kaki saya tidak bisa lagi untuk menapak dan menyangga tubuh. Kedua lutut dan tangan saya membiru. Akhirnya saya kembali berobat ke RSCM. Menurut hasil rontgen, pergelangan kaki saya mengalami Soft Tissue swelling di sekitar maleolus lateral. Jaringan lunaknya bergeser. Dokter meng-Gips cedera saya dan selama dua minggu saya harus mengistirahatkan kaki saya.
Menurut orang-orang dan dokter klinik di gedung Sarinah, kasus semacam saya bukan pertama kalinya terjadi. Mengapa tidak ada perhatian dari pengelola Gedung Sarinah?Bila memang ada beda tinggi lantai, seharusnya di depan pintu di beri bordes dulu. Jangan langsung turun begitu rupa.
Kamis, 11 Desember 2008
Barbeque
Tunggu beberapa menit, Andy akan manggil-manggil "yang, ambilin, piring. Yang ambilin nasi. Yang ambilin garam. Sendok, spatula, bla bla bla, bli bli, blu blu". Kan nyebelin banget tuh. Kenapa nyuruhnya enggak sekaligus. Biar gue nggak bolak-balik. Meski nyebelin, gue tetep ngambilin dongs. Abis gue enggak tega melihat tampangnya yang bulet memerah keringetan kena panas bara itu. Tampangnya jadi mirip daging panggang. Hehe..
Sampe kipas itu rusak dan menyerah.
Usai bakar-bakaran. Masih ada kerjaan menunggu. Mencuci semua perkakas perang. Ya bagi-bagi kerjaan lah. Andy beresin sampah-sampah bekas barbeque, gue yang cuci perkakasnya. Paling susah itu mencuci alat panggang. Karena besar dan gak muat di wastafel. Trus serpihan daging yang nempel mengeras di besi itu loh. Susah banget di cucinya.
Meski cape, tapi kadang seru juga. Apalagi kalo kita barbeque-an nya berdua aja. Ditengah suasana senja, dari terang ke gelap. Duduk melihat bintang. Menunggu daging dan ikan matang. Percikan api saling bersahut dengan alunan musik dari Ipod. Hehehe.. Romantis yang kapiran.. dinner nya bukan pake lilin tapi pake bara api…
Kalo hari libur, ritme bakar membakar bisa seperti minum obat. 2 kali sehari. Bangun tidur ngopi bentar. Trus "peralatan perang" di gelar di depan rumah. Gak berapa lama doski udah asik ngipas-ngipas daging atau ikan di atas bara. Sore hari nya, dia bisa tuh gelar alat perang lagi untuk bikin barbeque-an.
Tetangga sebelah rumah, Teguh dan vivi, ternyata juga setali tiga uang. Sering dan seneng banget bikin barbeque. Kita sering juga bikin barbeque bersama. Kadang cuma ber-empat aja, kadang mengundang beberapa teman dekat.
Tempatnya memang mendukung. Konsepnya kayak Town house gitu. Ada 5 unit rumah yang berjajar menghadap halaman dan dilingkari pagar bersama. Meski luasan tiap unit rumahnya kecil tapi halamannya luas bow. Sang pemilik punya hoby tanaman. Jadi di depan rumah itu tertata rapi jajaran tanaman bunga adenium berbagai warna. Lokasi rumah juga jauh dari jalan raya, jadi enak untuk bikin acara kumpul-kumpul. Nggak perlu kawatir mengganggu tetangga.
Kamis, 30 Oktober 2008
Dari Jogja "Ber-ati nyaman" menuju RI 1 untuk perubahan
Pisowanan Ageng ini mengingatkan saya pada cerita masa ke emasan Majapahit di abad ke 14. Kala tampuk kerajaan di pegang oleh dua Ratu, Sri Gitarja dan Dyah Wiyat, dengan Gajah mada sebagai patih nya. Kala itu dikisahkan, setiap tahun Majapahit menggelar semacam acara pertemuan besar. Dihadiri oleh utusan dari seluruh kerajaan bawahan sebagai tanda takluk pada Majapahit. Pada pertemuan ini, semua utusan melaporkan keadaan di wilayahnya. Segala kemajuan dan kesulitannya. Berharap Sang Ratu Kembar dapat memerintahkan pengiriman bantuan. Pengiriman bahan pangan bagi wilayah yang terkena gagal panen. Pengiriman dukun kesehatan bagi wilayah yang terkena wabah penyakit. Atau setidaknya dapat diberikan kewajiban pengurangan upeti.
Ratusan abad kemudian, gelar pertemuan ini masih terjadi. Tapi konteksnya jelas sudah beda. Di abad 21 ini Pisowanan Ageng hanya menjadi ajang Pak Sultan bertemu rakyatnya.
Kala kecil dulu, meski samar-samar saya masih ingat, Yangti (nenek saya yang tinggal di Jogja) pernah bercerita. Suatu ketika, di sebuah acara -mungkin pisowanan Ageng- tetangganya pernah datang menemui Alm Sri Sultan Hamengkubuwono ke IX (ayah dari pak Sultan X). Di belakang panggung sang tetangga mencegat Rajanya dan memohon bisa menurunkan hujan, agar sawahnya tak jadi gagal panen akibat kemarau panjang. Menurut si tetangga, kala itu sang Raja hanya tersenyum dan menyuruhnya pulang. Dua hari kemudian, hujan turun deras, dan sawahnya berhasil panen. Boleh percaya boleh tidak. Tapi Nenek saya percaya betul kalau Raja nya begitu memiliki kemampuan lebih.
Pertama kali mendengar cerita itu, saya begitu takjub. Kini setelah besar, saya berpikir, kok nggak rasional sekali ya cerita itu. Ah jawa, kadang eksotik tapi juga penuh klenik. Setengah darah saya mengalir darah Jogja. Meski saya belum tercerabut dari akarnya, tapi saya Lahir dan besar di Jakarta, bersama Prambors dan majalah Hai. Di banding cerita Yangti, tentu saya lebih percaya Google dan rock and roll.
“Djawa adalah kontji” begitu kata Aidit di film G30S/PKI. Ini memang SARA, Tapi kita gak bisa menafikan fakta dan riset. Sejak ribuan tahun silam Jawa memang motor dari kebudayaan dan kemajuan nusantara. Karakter dan tipologi pulau Jawa lebih mendukung penghuninya menggapai pencapaian lebih maju dibanding manusia di pulau yang lain di Nusantara. Seperti yang termaktub dalam buku “Nusantara : A History of Indonesia” karya Bernad HM Vlekke. Namun demikian, nggak baik juga kalo ‘Jawa’ di stigma-kan sehingga menjadi alasan penghalang untuk maju.
Kalau ditarik lebih ke belakang, Keraton Jogja telah banyak mendukung perjuangan pergerakan kemerdekaan, di banding Keraton Solo yang cenderung apatis dengan perjuangan politik bangsa. Keraton Jogja berani menolak bekerja sama -atau setidaknya berseberangan jalan- dengan Belanda dan Jepang. Mungkin ini yang membuat para Sultan Jogja lebih berkarisma di mata ‘rakyat’nya. Seperti kaum Nahdliyyin terhadap Gusdur.
Tahun 1998 silam, Kala Reformasi merebak, ada 4 nama yg sibuk berembug di Ciganjur. Mereka adalah GusDur, Megawati, Amien Rais, dan Pak Sultan HB X. Selepas 1998, salah satunya sempat menjadi Ketua MPR, sementara dua lainnya sempat menjadi Presiden RI. Tapi Pak Sultan selalu setia 'duduk' di Jogja.
Saya pikir, kesultanan Jogja tidak hanya simbol Monarkhi dan sejarah. Kesultanan Jogja juga telah berkontribusi bagi terciptanya Kemerdekaan dan Reformasi Bangsa ini. Setiap Sultan Jogja menciptakan Kiprahnya masing-masing. Almarhum HB IX ikut pergerakan kemerdekaan. Pak Sultan HB X turut serta dalam reformasi.
Reformasi kini berumur 10 tahun. Telah dua kali Pemilu Pak Sultan di gadang-gadang menjadi capres. Mungkin ini saatnya Pak Sultan muncul kembali ke Jakarta. Di Pisowanan Ageng kemarin, Pak Sultan mendeklarasikan maju menjadi bakal Capres. Namun perjuangan masih panjang dan berat. Saat ini tak cukup dengan dukungan rakyat saja. Pak Sultan harus mampu menggandeng Parpol besar demi perolehan 25 % suara Legislatif.
Dilihat dari banyaknya dukungan di Pisowanan Ageng, juga pengalaman Pak Sultan memimpin Jogja, saya kira itu sudah modal awal. Selama kepemimpinan Pak Sultan betapa Jogja yang plural masyarakatnya mampu hidup harmonis dan “Ber Ati Nyaman” -seperti slogan DIY. Bila Pak Sultan berhasil di Pemilu nanti, tentunya dia dapat menularkan slogan tersebut sehingga Indonesia ber-ati Nyaman.
Tidak ada yg hitam putih di dunia ini. Di banding Bakal Capres yang lain, track record Pak Sultan termasuk cukup baik. Anti poligami, open mind, dan berbhineka tunggal ika. Saya percaya setiap warga negara berhak mencalonkan diri-sesuai UU yang berlaku. Makin banyak pilihan capres makin bagus buat kita memilih.
Ah .. sok tau sekali ya saya ini hehehe...
~Mayang