Welcome To My Paradise

Welcome To My Paradise

Kamis, 23 November 2017

Kenapa Politik Afirmasi di Undang-Undang Pemilu Perlu?





JALAN PANJANG PEREMPUAN
Majalah TIME edisi 18 September 2017 mengangkat laporan khusus bertajuk “Firsts: Women who are changing the World”. Para perempuan yang mengubah dunia. Majalah TIME mewawancara 46 perempuan dari beragam disiplin ilmu, ranah pekerjaan, lokasi, budaya, dan umur. Mereka adalah para perempuan pionir. Perempuan pertama yang melakukan pencapaian tertentu di bidangnya.
Mulai dari Hillary Clinton, perempuan pertama yang memenangi konvensi partai besar di Amerika untuk maju menjadi calon Presiden. Ada juga Oprah Winfrey, perempuan pertama yang memiliki sekaligus memproduseri sendiri program Talk Show-nya.
Di dunia film animasi, ada Jennifer Yuh Nelson, perempuan pertama yang menyutradarai film Animasi Hollywood. Ava DuVernay, sutradara perempuan pertama yang filmnya masuk dalam nominasi Oscar. Rita Moreno, perempuan keturunan Amerika Latin pertama yang memenangi penghargaan Emmy, Grammy, dan piala Oscar.
Di bidang ekonomi, ada Janet Yellen, perempuan pertama yang memimpin The FED, Bank Central Amerika. Dari dunia musik, ada Aretha Franklin, perempuan pertama yang didapuk dalam penghargaan musik Rock & Roll. Hingga, Kathryn Sulliva, astronot perempuan pertama yang berjalan di luar angkasa. Total 46 perempuan melakukan pencapaian pertama yang belum pernah dicapai sebelumnya.
Ada benang merah yang sama di antara kisah mereka. Sebelumnya, mereka tidak pernah bercita-cita menjadi pionir. Mereka hanya terus belajar dan bekerja.
Pada umumnya, lingkungan sekitar belum sepenuhnya mendukung perempuan, apalagi dengan ras tertentu dapat mencapai hal-hal tersebut. Capaian mereka itu menjadi hal yang luar biasa karena jalan panjang yang harus mereka tempuh, yang belum tentu didukung oleh semua pihak.
Namun, tidak berarti mereka nir-dukungan. Sedikit dukungan biasanya datang dari keluarga dan orang terdekat. Satu hal yang timbul dari dukungan ini adalah rasa percaya diri untuk terus belajar dan berusaha. Faktor psikologis ini penting.
Harriet Taylor, seorang feminis liberal yang hidup di abad 19, dalam tulisannya “Enfrachisement of Women”, yakin perempuan harus memilih antara menjadi istri dan Ibu, atau bekerja di luar rumah. Tak berhenti di situ, dia juga percaya ada pilihan ketiga bagi perempuan, yaitu menambahkan karier/pekerjaan di luar fungsi domestik dan maternalnya.
Perempuan yang telah menikah tidak dapat sungguh-sungguh setara dengan suaminya. Dia harus memiliki kepercayaan diri. Ini faktor psikologis. Ini bisa didapat bila dia mampu berkontribusi “material” dalam menopang keluarga.
Tak penting berapa banyak dia berkontribusi, asalkan sebagian kecil dari material penopang keluarga datang dari dia, sang perempuan. Ringkasnya, untuk menjadi partner dari suaminya, maka istri harus memiliki penghasilan dari pekerjaan di luar rumah.
Konteks di era Harriet Taylor tentu sudah berbeda dengan sekarang. Kini, faktor psikologis berupa dukungan dari keluarga tak lagi cukup untuk mendorong perempuan melakukan capaian tertentu. Masyarakat dan negara harus juga memberikan dukungan
Kaum Liberal Kesejahteraan yakin setiap individu memiliki posisi asal yang berbeda. Ada ketidakberuntungan bagi beberapa individu ketika memasuki persaingan. Maka, diperlukan intervensi negara.
Kalau menggunakan perspektif ini, budaya Indonesia yang patriarkal membuat kaum perempuan memiliki posisi asal yang berbeda. Maka, tindakan afirmasi perlu diberlakukan. Bila kesetaraan bisa ditempuh melalui jalan tersebut, maka perlu keberpihakan negara untuk membuat setiap individu memiliki modal dasar dan kesempatan yang sama.
Keterwakilan perlu juga dilihat dari persentasi. Bila kita mengamati Data Sensus Penduduk 2010, populasi perempuan dan laki-laki tidaklah terpaut jauh. Namun, persentasi perempuan di eksekutif dan legislatif amat jauh di bawah lelaki.
Partisipasi perempuan di dalam kegiatan politik masih terkendala dari sisi kuantitas. Ada ketersediaan yang kurang. Kepengurusan 30% perempuan di setiap jenjang kepengurusan partai masih mendapat banyak penolakan. Usaha untuk mendorong 30% keterwakilan perempuan masih belum terlihat hasilnya.
Menurut Idha Budhiati, Komisioner KPU, dalam wawancaranya dengan Jurnal Perempuan, hal ini disebabkan oleh aspek pendidikan politik yang tidak cukup. Karena itu, partai politik harus melakukan pendidikan, rekrutmen, dan kaderisasi dari tingkat atas hingga bawah.
Dukungan untuk menciptakan tindakan afirmasi harus terus digalakkan, tidak hanya dari luar, tapi juga dari dalam sistem. Percepatan akan lebih terasa bila hal ini muncul dari dalam sistem. Pengarusutamaan gender perempuan harus dilakukan di semua lini kebijakan. Di setiap aturan dan perundang-undangan yang dibuat.
Alih-alih membenahi ini, Undang-undang Pemilu tahun 2017 malah tidak mendukung terciptanya supply perempuan dalam politik. Pasal 173 ayat 2 huruf e berbunyi: “Partai politik dapat menjadi Peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan: e. menyertakan paling sedikit 30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat."
Pasal ini inkonsisten dengan UUD 45 dan beberapa aturan perundangan. Ketika banyak suara menginginkan pengarusutamaan gender, mengapa UU Pemilu 2017 tidak mendukung? Mengapa keterwakilan pengurus perempuan 30% hanya di tingkat pusat saja dan tidak diwajibkan hingga ke tingkat kecamatan?
Angka 30% itu bukan sekadar ambil dari langit. Ini merupakan hasil penelitian PBB. Angka 30% adalah angka yang dapat mengubah keadaan. Bila ingin perempuan berdaya, maka perlu ada tindakan afirmasi di setiap level. Ini juga berdampak pada kesiapan dan ketersediaan jumlah perempuan untuk masuk dalam legislatif.
Perlu mulai dijaring sejak jenjang terbawah, sehingga akan terjaring banyak calon pengambil keputusan perempuan. Karena perempuan tentu lebih paham apa kebutuhannya dari kacamata perempuan. Langkah ini penting untuk memperbaiki kualitas kebijakan agar tidak bias gender.
Lebih dari itu, langkah ini penting agar perempuan sebagai warga negara Indonesia juga lebih berdaya dan punya kesempatan setara yang lebih besar di masa depan. Maka, untuk pasal ini, sebaiknya MK menambahkan atau memuat frasa “… tingkat pusat, tingkat provinsi, tingkat kabupaten/kota, dan tingkat kecamatan.”
Pada tanggal 21 Agustus 2017 yang lalu, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) telah mendaftarkan permohonan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi (MK) atas UU Pemilu tahun 2017. PSI sejak awal berkomitmen mengusung aspirasi perempuan. Seperti tercantum dalam AD/ART pasal 26 tentang kepengurusan partai, menyertakan 30% perempuan dari tingkat pusat hingga ke level kecamatan.
Langkah ini diambil untuk mendorong terwujudnya proses politik yang benar, adil, dan tanpa diskriminasi. Agar kelak perempuan tidak lagi menjadi subordinat dan bisa bersaing dengan modal asal yang sama sebagai manusia dan warga negara.
Pada hari Kamis, 5 Oktober 2017, berlangsung sidang mendengarkan keterangan pihak terkait tentang permohonan gugatan di MK. Masih akan ada persidangan-persidangan lanjutan. Semoga MK dapat memutus perkara ini seadil mungkin tanpa diskriminasi terhadap perempuan, sesuai dengan kaidah hukum universal yang berlaku.
Kita berharap, suatu saat nanti capaian para perempuan, seperti dalam laporan khusus TIME, tak lagi menjadi luar biasa. Tidak ada lagi jalan panjang berliku yang harus ditempuh para perempuan untuk mencapai apa pun cita-cita.

Tidak ada komentar: